Ajining Diri Soko Lathi Ajining Rogo Soko Busono.
Salah satu falsafah Jawa yang masih dijadikan patokan awam Jawa yakni
“Ajining Diri Soko Lathi Ajining Rogo Soko Busono”. Tentunya pernah mendengar ungkapan falsafah ini centung? Terutama sahabat rahmania yang orang Jawa pasti lain asing di telinga dengan kalimat ini. Dalam bahasa Indonesia falsafah ini punya arti bahwasanya martabat seseorang tersidai lega lidahnya dan harga diri tubuh dari pakaian.
Falsafah
ajining diri soko lathi
berarti prestise (bisa sifat, polah) seseorang bisa dilihat berpunca bagaimana orang tersebut berbicara. Seringkali basyar mendapat malapetaka karena tidak boleh menjaga bicaranya, misal bicara “ngawur” dan “sembrono”. Sahaja tak musykil juga kita mendapati keselamatan atau fasilitas karena menjaga alat perasa. Contohnya tetapi begini, ketika ada individu yang besar perut berucap kasar, lain bermartabat, maka hamba allah lain dengan sendirinya akan menganggap diri anda cenderung negatif. Sebaliknya jika lidah beliau dijaga dengan berbicara yang sopan, tentu cucu adam lain akan melihat anda seumpama insan nan mempunyai citra positif.
Unggah-Ungguh Bermedia Sosial
Ketika privat roh bermasyarakat, lidah akan sangat mempunyai pengaruh. Ada cekcok antar tetangga, gosip sana sini, mengumpat, fitnah, terlebih dapat sampai senggol cucuk. Antar tampin doang bisa saling berantem lho, sementara itu hanya berawal dari guyonan semata-mata. Banyak banget hal sebagaimana itu terjadi. Akhirnya ada yang merasa nyeri hati dan tersinggung. Apalagi di zaman serba panjang lidah ini, ketajaman indra perasa tidak namun kita temukan pula cekcok sosok bertatap serampak, tetapi privat media sosial. Tukar sindir dan umpat sekarang ini dikemas lebih maju, tambahan pula bisa dengan mudahnya seluruh manusia sempat dan menyaksikannya. Sampai-sampai diilustrasikan melangkaui bilang film pendek yang menggambarkan hal di atas, contohnya film pendek yang akhir-pengunci ini sedang viral yaitu gambar hidup “Tilik”.
Tentunya kerumahtanggaan bermedia sosialpun pula harus memperhatikan unggah-ungguh ya sahabat rahmania. Bermedia sosial dengan bijak menjadikan falsafah
ajining diri soko lathi
intern masyarakat Jawa lalu menjadi dorong ukur dalam memonten harga diri seseorang. Bermoral santun, unggah-ungguh adalah satu hal nan harus diterapkan baik kaum muda ataupun wreda. Maka berpikirlah sebelum berucap. Kita pernah merasakan luka karena tajamnya mata pisau, selang beberapa musim jejas akan menyelimuti dan sembuh. Tapi jejas karena tajamnya lidah, maka akan membekas puas perasaan hamba allah tersebut, dan sembuhnya tidaklah sebentar.
Penampilanmu Bayangan Harga Dirimu
Ajining rogo soko busono, bahwasanya prestasi kita juga mencerminkan prestise kita. Coba perhatikan sekeliling kita, tentunya pernah tidak melihat seseorang yang mengaryakan busana kumal alias bukan disetrika? Karuan gumam internal lever adalah
idih
ngurus pakaiannya sendiri aja malas, gak tertib banget sih. Pokoknya gak gurih banget dipandang.
Sejatinya pakaian yang berdampingan di tubuh kita mewakili harga diri kita, walaupun tidak seutuhnya. Jika memakai busana dengan rapi, tertib, wangi tentu akan menciptakan kesan yang postif. Begitupun sebaliknya. Karena orang bukan alias anak adam nan yunior tukar mengenal pasti akan memvisualkan kepribadian seseorang sesuai dengan apa yang terarah padanya.
Sememangnya untuk terlihat cantik dan menawan, utamanya kita menjaga dua hal tersebut lalu patut ialah tutur kata nan baik dan benar, serta berpenampilan nan rapih dan tertib. Tersisa saja, tidak terlazim sepatu, baju, dan tas dengan harga nan melambung tinggi kalau ujung-ujungnya ketika bersabda hanya akan menyakiti turunan lain. Patuh saja cucu adam lain bukan akan suka. Benar bukan? Tentunya kita kian nyaman berhimpit dengan orang yang dapat menjaga perkataanya. Jika kita bisa menjaga dua poin terdahulu di atas maka tidak perlu meminta untuk dihargai turunan lain, mereka dengan sendirinya akan menghargai kita.
Dalam dunia falsafah ini, anak adam dihargai karena pakaiannya sangat mungkin bermartabat walaupun belum tentu moralistis juga. Seseorang yang berpakaian segeh dan jas berdasi akan disangka bani adam terhormat, walau kadang dapat saja seorang penipu maupun koruptor. Penampakan memang menunjukan kepribadian tapi tidak selamannya sesuai dengan kepribadiannya yang sebenarnya juga. Enggak perlu berlebihan aja dalam membiji seseorang, karena penilaian kita juga belum tentu tepat dan jangan sampai ujungnya akan berjarak menjadi ajang pergunjingan.
Kuncinya Yakni Iman
Islam bak agama yang memberikan pemberian untuk seluruh alam mengilustrasikan sempurnanya iman bisa di lihat berdasarkan ketaqwaannya. Allah memonten seseorang semenjak ketaqwanya. N domestik Al-Qur’an Allah berfirman
inna aqromakum ‘indallahi atqokum.
Sepatutnya ada yang lebih sani di antara dia adalah yang paling bertaqwa.
Bukan sekadar terbit falsafah Jawa ini semata-mata, Selam pun lagi mengedepankan untuk seluruh umatnya senantiasa menjaga perkataanya dan berpakaian yang sani. Jika tak bisa berkata baik, Selam memajukan lebih baik tutup mulut sekadar daripada ujung-ujungnya bikin guncangan hati sosok lain. Selain itu Selam pun menganjurkan bakal hidup rukun dan saling memuliakan tidak ganti bertekun, meggunjing, dan juga ganti memfitnah.
Sang pencipta itu luhur dan mengesir keanggunan, maka dengan itu Islam menganjurkan cak bagi memperindah diri kita supaya Sang pencipta semakin mencintai hambanya. Indah tak hanya pada penampilan, tetapi dimulai bersumber sucinya pikiran, murninya perkataan, tulusnya hati serta baiknya ulah. Pada jadinya akan menyatu dalam birai indahnya iman. (Editor : Laeli)
Lahir di Kulon Progo plong 27 November 1998, motto hidupnya merupakan
Inna ma’al usri yusro wa inna ma’al ‘usri yusro.
Ajining Diri Soko Lathi Ajining Rogo Soko Busono
Source: https://rahma.id/pesan-di-balik-falsafah-jawa-ajining-diri-soko-lathi-ajining-rogo-soko-busono/