Home  »  Edukasi   »   Dongeng Cerita Rakyat Riau Kisah Si Lancang Berasal Dari Daerah

Dongeng Cerita Rakyat Riau Kisah Si Lancang Berasal Dari Daerah

By | 13 Agustus 2022

Dongeng Cerita Rakyat Riau Kisah Si Lancang Berasal Dari Daerah.


Cerita Cewek Tujuh : Asal Muasal Kota Dumai

Silam, di Dumai ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang ratu bernama Cik Sima. Kerajaan tersebut bernama Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Cik Sima punya sapta manusia perawan yang cakap-cantik. Di antara ketujuh putrinya, nona bungsulah yang minimal cantik. la bernama Mayang Sari.

Satu hari, ketujuh perempuan ini sedang bersiram di Lubuk Sarong Umai. Mereka tidak menyadari bahwa terserah orang yang sedang memerhatikan mereka. Baginda Kolam Kuala nan secara lain sengaja menengah melampaui daerah itu terkagum-kagum dengan kecantikan ketujuh nona itu. Saja, matanya terpaku pada Putri Manggar Sari.

“Hmm, cantik sekali gadis itu. Putri cantik di Lubuk Umai. Dumai… Dumai,” bisiknya pada diri sendiri.

Sekembalinya ke kerajaan, Pangeran Empang Kuala mewajibkan utusannya bakal pergi ke Kerajaan Panah Anak uang Tanjung untuk menunangi Dayang Mayang Sari. Secara adat, Cik Sima memerosokkan dengan lumat pinangan kepada putri bungsunya, karena seharusnya putri tertualah yang harusnya menerima pinangan lebih dahulu.

Pangeran Tambak Hilir murka mendengar pinangannya ditolak. Lulu, beliau mengerahkan pasukannya bikin menyerbu Kerajaan Seri Rente Tanjung. Mendapat serangan tersebut, Cik Sima segera mengamankan ketujuh puterinya ke intern hutan. Mereka disembunyikan di sebuah lubang yang ditutupi atap terbuat dari tanah dan dihalangi oleh pepohonan. Cik Sima juga membekali ketujuh puterinya bekal ki gua garba selama tiga bulan. Setelah itu, Cik Sima pun ke medan perang.

Pertempuan berlangsung selama berbulan-bulan. Telah lampau tiga rembulan persangkalan tidak juga selesai dan bala Cik Sima semakin terpaksa. Korban sudah banyak sekali berjatuhan dan kerajaan pun porak poranda. Akhirnya, Cik Sima meminta bantuan jin yang sedang bertapa di Giri Hulu Wai Umai.

Ketika Pangeran Empang Muara dan pasukannya sedang beristirahat di penggalan hilir Bengawan Umai pada malam hari, start tiba saja ribuan buah bakau berjatuhan menjalari pasukan Pangeran Kolam Kuala yang sedang beristirahat. Sebentar saja pasukan tersebut dapat dilumpuhkan. Pangeran Kolam Kuala pula terluka.

Privat kondisi yang lemah itu, datanglah utusan Ratu Cik Sima.

“Hamba datang sebagai utusan Sri paduka Kerajaan Seri Bunga Jazirah. Ratu mempersunting Tuan kerjakan menghentikan penolakan ini. Peperangan ini tidak suka-suka kebaikannya bagi kedua belch pihak. Sahaja akan menimbulkan penderitaan,” introduksi utusan Ratu Cik Sima

Pangeran Balong Kuala mencatat bahwa pihaknyalah yang memulai semua kerusakan ini. Akibatnya, engkau mewajibkan pasukannya untuk mengaret.

Sepeninggal pasukan Pangeran Kolam Kuala, Ratu Cik Sima bergegas menuju tempat persembuyian ketujuh putrinya. Sekadar, ia sangat terpukul, karena dilihatnya ketujuh puterinya telah meninggal mayapada, karena kelaparan. Persangkalan berlangsung Iebih lama terbit antisipasi mereka, sehingga bekal makanan yang ditinggalkan lain memadai.

Paduka Cik Sima tidak kuasa menahan sesal dan kesedihan atas kehilangan dara-putrinya. la jatuh sakit dan meninggal bumi.

Konon, kata Dumai diambil mulai sejak introduksi-kata Ratu Empang Kuala ketika sedang melihat Putri Mayang Sari di wai. Saat ini, di Ii kabupaten Dumai terdapat situs bersejarah, yakni sebuah persanggrahan Putri Sapta yang letaknya di wilayah wilayah jentera Minyak PT Pertamina Dumai.

Pesan moral terbit Kisahan Rakyat Riau Dayang Tujuh : Dasar Usul Dumai ialah permusuhan akan menimbulkan kerugian dan penyesalan.


Rakyat Wilayah Riau : Asal Mula Pulau Senua

Di kepulauan Natuna, ada sepasang suami candik, ialah Baitusen dan Mai Lamah. Suatu perian, mereka merantau ke Pulau Bunguran kiranya bisa umur lebih baik.

Di Pulau Bunguran, mereka hidup bahagia. Para tetangga sekali lagi menyukai mereka. Mak Semah, seorang dukun beranak kampung pun selalu bersedia menolong mereka takdirnya salah satu di antara mereka cak semau yang ngilu.

Satu hari, Baitusen menemukan sarang teripang, binatang laut yang mahal harganya jika dikeringkan dan dijual. Baitusen dan istrinya pun menjadi saudagar teripang yang kaya raya.

Kehidupan yang mewah mengubah sifat Mai Lamah. la menjadi sombong dan pelit. Perempuan itu pun tidak mau lagi bergaul dengan para tetangganya nan miskin.

Suatu tahun, Mak Semah nomplok bikin meminjam beras. Mai Lamah membentaknya dan mendongkel mengenai utang-utang perempuan itu. Mak Semah sangat tersentuh perasaan mendengar ucapan Mai Lamah. Sejak itu, para tetangga menjauhi Mai Lamah.

Suatu waktu, tibalah saatnya Mai Lamah beranak. Mereka sudah memesan bidan semenjak pulau membelot, saja beliau tak kunjung hinggap. Akhirnya, Baitusen mencoba menunangi bantuan kepada Mak Semah dan setangga lainnya. Saja, tak seorang sekali lagi mau menolong karena mereka pernah disakiti oleh Mai Lamah.

Baitusen mengirimkan istrinya ke pulau seberang buat merodong perawat. Mereka menggunakan arombai. Mai Lamah meminta suaminya untuk membawa semua kotak perhiasan dalam biduk mereka.

Baitusen menuruti kemauan istrinya. Mereka membawa peti perhiasan, adv amat menjalankan kano itu. Ternyata, semakin ke paruh, gelombang laut semakin lautan. Air turut ke dalam perahu. Semakin lama pikulan perahu semakin berat. Lambu terbenam bersama seluruh perhiasan yang mereka dukung.

Baitusen dan istrinya berusaha menyelamatkan diri. Mai Lamah berpegangan pada ikat pinggang suaminya. Mereka berusaha berenang ke marginal di paruh gelombang laut nan ganas. Bodi Mai Lamah kulur dan tenggelam. Badannya berat, karena sedang mengandung dan ditambah banyaknya perhiasan yang ia pakai. Karenanya, mereka menyentuh Pulau Bunguran Timur.

Saat Mai Lamah yang menggadang dan kikir menginjakkan kaki di pulau itu, tiba-berangkat guntur menggelegar. Gelagatnya, tanah Bunguran tidak kepingin mengamini kedatangan cewek itu. Mulai-tiba, jasmani Mai Lamah yang dalam keadaan mengandung berubah menjadi sebongkah batu besar.

Lama kelamaan, rayuan tersebut berubah menjadi sebuah pulau. Mahajana sekeliling memanggil pulau tersebut dengan Pulau Senua. Menurut bahasa umum setempat “senua” adalah berbadan dua atau mengandung. Emas dan perak yang melilit jasad Mai Lamah berubah menjadi penis walet. Pulau ini terwalak di ujung Semenanjung Senubing, Bunguran Timur. Setakat kini, Pulau Bunguran tenar dengan sarang burung waletnya.

Wanti-wanti moral dari Kisah Rakyat Daerah Riau : Asal Mula Pulau Senua adalah Sifat kikir dan tamak akan mebawa celaka pada diri kita sendiri. Karena itu, kita harus silih bertolong-tolongan antar sesama.


Cerita Si Lancang Asfar

Konon, pada zaman zaman kuno, hiduplah seorang wanita miskin dengan anak laki-lakinya nan bernama si Lancang. Mereka berdua tinggal di sebuah gubuk reot di sebuah negeri bernama Kampar. Ayah si Cempala sudah lalu lama meninggal dunia. Emak Gerenyau berkreasi menggarap ladang manusia lain, sedangkan si Gerenyau menggembalakan piaraan tetangganya.

lancang kuning

Pada suatu hari, si Lancang betul-betul mengalami puncak kejenuhan. Beliau sudah bosan hidup miskin. Engkau ingin bekerja dan mengumpulkan uang agar tulat menjadi orang kaya. Jadinya dia juga mempersunting pemaafan emaknya cak bagi memencilkan merantau ke negeri khalayak. “Emak, Gerenyau mutakadim lain resistan kembali hidup miskin. Lancang ingin pergi merantau, Mak!” minta si Lancang kepada emaknya. Kendatipun berat hati, akibatnya emaknya mengizinkan si Cempala pergi. “Baiklah, Lancang. Kau boleh merantau, saja jangan lupakan emakmu. Jika nanti kau sudah menjadi kaya, segeralah pulang,” jawab Emak Lancang mengizinkan.

Mendengar jawaban mulai sejak emaknya, si Gerenyau meloncat-loncat kegirangan. Ia sudah membayangkan dirinya akan menjadi orang kaya raya di kampungnya. Ia tidak akan lagi bekerja sebagai pengembala ternak nan membosankan itu. Indung Lancang hanya terpaku menyibuk si Lancang meloncat-loncat. Ia ia gelagatnya trenyuh sekali akan ditinggal makanya anak satu-satunya. Meluluk ibunya tersentuh perasaan, si Cempala pun cak jongkok meloncat-lonta, adv amat berorientasi emaknya dan memeluknya. “Janganlah bersedih, Mak. Lancang lain akan melupakan indung di sini. Jika akan datang sudah kaya, Lancang karuan pulang Mak,” kata si Lancang menghilangkan emaknya. Emaknya kembali menjadi tersentuh perasaan mendengar tuturan dan janji si Lancang, dan hatinya kembali jadi tenang. Habis si Indung bersuara, “Baiklah Nak! Nanti pagi-pagi sekali beliau boleh tiba. Nanti malam Mak akan membuatkan lumping dodak untuk kamu makan di dalam pengembaraan nanti.”

Keesokan harinya, si Lancang menyingkir menyingkir kampung halamannya. Emaknya membekalinya sejumlah bungkus lumping dodak makanan kesukaan si Lancang.
Bertahun-tahun mutakadim si Gerenyau di rantauan. Risikonya anda pun menjadi seorang pedagang fertil. Beliau memiliki berpuluh-puluh kapal jual beli dan ratusan anak buah. Istri-istrinya pun cantik-cakap dan semua berusul dari anak bini kaya pula. Darurat itu, nun jauh di kampung halamannya, emak sang Lancang hidup miskin koteng diri.

Suatu hari si Cempala bertutur kepada candik-istrinya berlayar bahwa dia akan mengajak mereka berlayar ke Andalas. Istri-istrinya kembali lampau senang. “Kakanda, bolehkah kami mengirimkan perbekalan yang banyak?” soal keseleo seorang ayutayutan Lancang. “Iya…Kakanda, kami hendak bergembira ria pora di atas kapal,” tambah cem-ceman Lancang nan lainnya. Si Lancang pun mengambulkan permintaan istri gelap-istrinya tersebut. “Wahai istri-istriku! Bawalah perbekalan sesuka kalian,” jawab si Gerenyau. Mendengar jawaban dari si Lancang, mereka pun membawa segala keberagaman perbekalan, mulai berpokok makanan hingga perkakas musik bakal berpesta di atas kapal. Mereka sekali lagi membawa kain lawai dan aneka perhiasan emas dan perak untuk digelar di atas kapal agar kesan kemewahan dan kekayaan si Lancang semakin tampak.

Sejak berangkat dari pelabuhan, seluruh penumpang kapal si Lancang berpesta pora. Mereka bermain musik, bernyanyi, dan meronggeng di sepanjang pelayaran. Hingga akibatnya kapal si Lancang nan besar-besaran merapat di Sungai Kampar, kampung halaman si Cempala. “Hai …! Kita sudah sampai …!” teriak seorang anak biji zakar kapal.

Penduduk di selingkung Batang air Kampar berdatangan melihat kapal megah sang Lancang. Rupanya sebagian dari mereka masih mengenal wajah sang Gerenyau. “Weh, si Lancang rupanya! Dia telah jadi orang berlambak,” perkenalan awal guru mengaji si Gerenyau. “Megah sekali kapalnya. Syukurlah jika dia masih sadar kampung halamannya ini,” kata antiwirawan si Lancang bersama-sama mungil. Dia lalu memberitahukan kehadiran sang Lancang kepada emak si Gerenyau yang madya kelempai sakit di gubuknya.

Alangkah senangnya lever emak sang Lancang detik mendengar kabar anaknya menclok. “Oh, akhirnya pulang juga sang Lancang,” seru emaknya dengan gembira. Dengan perasaan dayuh, beliau bergegas bangkit bermula tidurnya, enggak peduli meski semenjana remai. Dengan baju yang sudah carik-barik, dia berjalan tertatih-tatih bikin menyambut anak semata di pelabuhan.

Sesampainya di dermaga, induk si Gerenyau hampir tidak percaya mengaram gebyar kapal si Lancang anaknya. Ia tidak sabar lagi ingin berjumpa dengan anak asuh suatu-satunya itu. Dengan memberanikan diri, anda mencoba mendaki ke geladak kapal mewahnya si Lancang. Saat hendak melangkah naik ke geladak kapal, menginjak-mulai anak biji pelir si Lancang menghalanginya. “Hai perempuan jelek! Jangan naik ke kapal ini. Pergi berpangkal sini!” usir seorang anak biji zakar kapal si Gerenyau. “Tapi …, aku yakni emak si Gerenyau,” jelas perempuan tua itu.

Mendengar kecaburan di atas geladak, sekonyongkonyong si Gerenyau yang diiringi oleh istri-istrinya tahu-tahu muncul dan berkata, “Bohong! Kamu bukan emakku. Usir kamu bersumber kapalku,” teriak si Lancang yang bersimbah di samping cem-ceman-istrinya. Rupanya ia malu sekiranya istri-istrinya mengetahui bahwa wanita lanjut umur dan miskin itu adalah emaknya.

“Oh, Lancang …, Anakku! Emak silam merindukanmu, Nak …,” rintih emak si Lancang. Mendengar rintihan wanita tua tua bangka itu, dengan congkaknya si Lancang menepis, lalu berkata, “manalah mungkin aku mempunyai emak wreda dan miskin seperti sira.” Kemudian sang Lancang berteriak, “Anak kapal! Usir pemudi gila itu bermula kapalku!” Anak biji pelir si Cempala mengusir emak si Lancang dengan garang. Dia didorong hingga mengempar. Kasihan sekali Emak Gerenyau. Sudah tua, gempa bumi-sakitan pula. Betapa malang nasibnya. Hatinya hancur lebur diusir oleh anak kandungnya seorang. Dengan hati sedih, wanita wreda itu pulang ke gubuknya. Di selama jalan kamu menangis. Ia lain menyangka anaknya akan tega mengamalkan semacam itu kepadanya.

Baca juga:   Langkah Pertama Yang Dilakukan Dalam Membuat Kincir Air Adalah

Sesampainya di rumah, wanita malang itu menjumut lesung dan nyiru pusaka. Beliau memutar-mutar lesung itu dan mengipasinya dengan tampi sambil berdoa, “Ya, Tuhanku. Si Lancang sudah kulahirkan dan kubesarkan dengan air susuku. Namun pasca- fertil, dia enggak ingin mengamini diriku sebagai emaknya. Ya Tuhan, tunjukkan padanya kekuasaan-Mu!”

Dalam sekejap, mendadak kilangangin kincir badai berhembus dengan dahsyat. Petir menggelegar menyambar kapal sang Gerenyau. Gelombang elektronik Sungai Kampar menghantam kapal si Lancang sebatas bertabur berkeping-keping. Semua insan di atas kapal itu berteriak kegalauan, sementara penduduk berlarian meninggalkan batang air.


Cerita Batu Batangkup

Cerita rakyat jawi ini sejak aku kecil dah pernah kudengar. Lalu setahuku judulnya  “Bencana Belah Gangguan Betangkup” yang signifikan batu yang bisa terbuka dan tertutup (sompek  dan kemudian bersatu sekali lagi) seperti kerang. Pada kunci Cerita Rakyat Jawi keluaran  Adicita diberi titel Provokasi Batangkup dengan pencerita Farouq Alwi serta disunting oleh  Mahyudin Al Mudra dan Daryatun. Muslihat ini terbitan Oktober 2006 yaitu kerjasama

antara Balai Kajian dan Ekspansi Budaya Melayu dengan Adicita Karya Nusa.  Berikut saduran/gubahan dari muslihat tersebut :  Zaman dahulu di dusun Indragiri Hilir, sangat seorang janda bernama Mak Minah di  gubuknya yang reyot bersama satu hamba allah anak perempuannya bernama Diang dan dua  orang anak laki-lakinya bernama Utuh dan Ucin. Mak Minah rajin bekerja dan saban hari  menyiapkan kebutuhan ketiga anaknya. Mak Minah pula mencari papan bakar buat dijual  ke pasar perumpamaan pemenuhan kebutuhan sehari-perian mereka.

Ketiga anaknya lampau nakal dan pelasuh yang senang berperan-main namun, tak ingin  membantu emaknya. Cinta mereka membantah ujar-ujar emaknya sehingga Mak Minah  comar bersedih. Mak Minah mutakadim tua dan lindu-sakitan. Merka bermain kadang sebatas  sagu belanda lilin batik. Mak Minah sering menangis dan meratapi dirinya.  “Yaaa Almalik, tolonglah hamba. Sadarkanlah anak-momongan hamba yang tidak asosiasi mau  memuliakan emaknya,” Mak Minah sembahyang diantara tangisnya.

Nanti harinya, Mak Minah menyiapkan rezeki yang banyak bakal anak-anaknya.  Setelah itu, Mak Minah menjauhi ke got bengawan dan mendekati sebuah batu yang bisa  bercakap. Bisikan itu juga dapat menelanjangi dan menutup seperti kerang. Basyar-individu  menyebutnya Batu Batangkup.

“Wahai Batu Batangkup, telanlah saya. Saya tak sanggup pula hayat dengan ketiga momongan  saya nan tidak pernah menghormati turunan tuanya,” kata Mak Minah. Batu Batangkup  kemudian menelan awak Mak Minah dan yang tersisa adalah seujung berasal rambut Mak  Minah nan panjang.

Menjelang sore, ketiga anaknya Cuma heran sebentar karena tidak menjumpai emaknya  sejak pagi. Tegar karena makanan sepan banyak, mereka kembali makan habis bermain-main  pula. Mereka tidak peduli lagi. Setelah perian kedua dan makanan pun adv amat, mereka  mulai kekhawatiran dan lapar. Sampai malam hari juga mereka enggak boleh menemukan  emaknya. Keesokan harinya ketika mereka mencari di seputar sungai, bertemulah mereka

dengan Batu Batangkup dan melihat ujung surai emaknya.

“Wahai Batu Batangkup, kami membutuhkan indung kami. Tolong campakkan emak kami  dari perutmu…,” rintih mereka. “Tidak!!! Kalian cuma membutuhkan emak saat kalian  lapar. Kalian enggak pernah menyayangi dan menghormati emak,” jawab Batu Batangkup.  Mereka terus meratap dan menangis. “Kami berikrar akan membantu, memanjakan dan  menghormati emak,” taki mereka. Akhirnya emak dikeluarkan berasal perut Batu

Batangkup.

Maka mereka kemudian rajing kondusif induk, menyayanngi serta patuh dan  menghormati emak. Tetapi peristiwa tersebut tidaklah lama. Mereka lagi ke tabiat asal  mereka nan indolen dan gemar bermain-main serta tidak cak hendak membantu, menyayangi dan  menghormati indung.

Mak Minah pula dayuh dan pun ke Bujukan Batangkup. Mak Minah pun ditelan juga  oleh Batu Batangkup. Ketiga anak Mak Minah seperti biasa berperan berusul pagi sebatas  sore. Menjelang burit mereka yunior siuman bahwa emak tidak nampak seharian. Besoknya  mereka menuju Batu Batangkup. Mereka meratap menangis sebagaimana keadaan sebelumnya. Doang kali ini Bencana Batangkup marah. “Kalian memang anak nakal.  Penyesalan kalian bisa jadi ini tak ada gunanya,” kata Rayuan Batangkup sederum menelan  mereka. Batu Batangkup lagi ikut ke dalam tanah dan sampai sekarang tak pernah  unjuk kembali.


Saga Putri Mambang Linau

Alkisah, di persil Bengkalis hiduplah sendiri pemuda bernama Teruna Enok. Ia hidup sebatang kara, orang tuanya sudah tiada, saudaranya lagi menjauhi entah kemana. Lamun, kehidupannya menyedihkan namun ia adalah pemuda yang baik dan pemurah hati. Pekerjaan sehari-harinya mencari kayu jago merah di dalam wana, pegangan ini untuk memenuhi kebutuhan sehari – harinya.

Satu pagi, ketika Jejaka Enok sedang berjalan di tengah hutan, tiba-tiba dia dihadang seekor ular cabai berbisa. Karena ular bura tersebut hendak mencagut Bujang Enok, maka terpaksa, Bujang Enok melecutnya dengan tongkat rotan. Seketika itu pun ular tersebut sedarun menggeliat dan hening. “Syukurlah, ular tersebut telah tiada, kita tidak akan diganggu ular itu pula ”, celaan beberapa perempuan terdengar di dekat situ. Semakin lama, suara-suara tersebut semakin jelas terdengar makanya Pemuda Enok, tetapi kamu tidak memeka celaan tersebut, dan anda terus meneruskan pekerjaannya mengumpulkan kayu jago merah.

Pron bila perdua masa, seperti mana biasanya Bujang Enok pulang ke pondoknya. Momen beliau masuk ke jingkir pondoknya, Pemuda Enok merasa heran, karena di dapurnya telah tersaji makanan yang kelihatannya dahulu lezat. Karena lapar sira pun langsung melahap semua hidangan yang tersedia itu. Sinkron menikmati kelezatan tembolok itu, Bujang Enok menjadi penasaran karena ia tidak memiliki saudara dan orang tua maupun tetangga yang rela menyiagakan tembolok untuk dia.

Keesokan harinya, Bujang Enok melaksanakan niatnya cak bagi mencari sempat makhluk nan sudah lalu berani turut ke dalam pondoknya. Hari itu ia memutuskan lain meninggalkan ke hutan. Bersumber pagi sampai siang ditunggunya orang nan turut ke pondoknya. Bujang Enok menunggu di antara semak-samun yang produktif lain jauh mulai sejak pondoknya. Menjelang siang bolong, tiba-tiba dari sisi lubuk, menclok tujuh gadis jelita. Mereka datang beriring-iringan dan menjunjung saji, lalu ikut ke dalam pondok Bujang Enok. Ketujuh amoi itu mengalungkan sandang berwarna pelangi. Namun dari ketujuh amoi itu, gadis yang berselendang rona jinggalah nan paling cantik. Teruna Enok mengawasi putri itu.

Bukan lama kemudian, ketujuh gadis itu keluar dari dangau Bujang Enok, dan melanglang ke sebelah lubuk hulu kali besar. Mereka akan mandi, dan Masing-masing pemudi itu menyangkutkan selendangnya plong sebuah ranting gawang. Dengan langkah hati-hati, Bujang Enok membuntuti ketujuh gadis jelita itu. Bujang Enok bersembunyi di pesong semak-belukar. Teruna Enok merentang pakaian mereka dan mengambil selendang bercelup jingga. Karena mereka mandi sambil bersendau gurau, sehingga tak mencatat kehadiran Cowok Enok nan tak jauh berbunga ajang mereka mandi.
Selesai mandi, ketujuh gadis itu menanjak ke tepi lubuk lalu berganti pakaian. Masing-masing mengambil dan mengenakan selendangnya yang tergantung di ranting.

Namun, salah satu dari di antara ketujuh gadis itu yaitu yang mengalungkan selendang berwarna jingga, anda tak menemukan selendangnya. Selepas bilang lama mereka mengejar, mereka tetap tidak menemukan syal terebut. Menjelang magrib, keenam perempuan yang telah mengenakan selendang, seketika ibing dan kemudian berkimbang-kimbang terbang ke angkasa menghindari gadis yang kehabisan ulos itu koteng diri di tepian lubuk. Temporer itu, Bujang Enok tercengang-cengang menyaksikan peristiwa itu pecah mengsol semak-semak.
Setelah melihat keadaan itu, Bujang Enok keluar pecah persembunyiannya dan menjalari gadis yang sedang mengejar-cari selendangnya.

“ Apa madya engkau cari, wahai gadis cantik? ” pertanyaan Teruna Enok.
“ Hamba sedang mencari selempang. Apakah Pemilik memahami selendang bercelup jingga di erat sini ?? ” pinta Gadis itu.
“ Saya bersedia mengembalikan selendang jingga milik Empunya Perawan, tetapi dengan syarat, Tuan Putri bersedia menikah dengan saya,” pengenalan Bujang Enok.
“ Asalkan Tuan membalas selendang saya. Saya berjanji bersedia menikah dengan Pemilik, tetapi apabila saya terpaksa harus menandak, berarti kita akan bercerai kasih,” kata gadis jelita itu.
“Baiklah, saya akan mengingat janji itu. Nama saya Bujang Enok,” jelas Bujang Enok memopulerkan dirinya.

“Nama saya Mambang Linau,” kata gadis jelita itu membalasnya.
Sejak saat itu, mereka menjalin cinta kasih intern sebuah arombai apartemen pangkat. Teruna Enok dan Mambang Linau semangat bahagia, rukun dan berkecukupan.

Sejak menikah dengan Hantu Linau, Cowok Enok semakin tenar di kampungnya, ia dikenal pemuda yang pemurah dan baik hati. Lama kelamaan kebaikan hati Bujang Enok terdengar hingga ke kerajaan. sehingga Raja menganggat Cowok Enok menjadi Batin ataupun kepala kampung di desa Petalangan. dengan sifat pemurahnya. Kepemurahan hati Cowok Enok itu terdengar oleh Aji yang berkuasa di negeri itu. Berpangkal menjadi batin, Bujang Enok menjadi dekat dengan Sang Raja dan menjadi salah sendiri tangan kanan Raja.

Suatu musim, si Syah mengadakan pesta di puri. Yang dipertuan mengundang bani adam – bani adam pembesar istana dan orang kepercayaan Raja. Mereka semua cak bertengger bersama istrinya. Ketika itu Kaisar mempersilahkan para istri unggulan ajakan untuk mempersembahkan disko. Detik Putri Mambang Linau mematamatai tarian itu harinya mulai berdebar-debar. Hatinya pun semakin berdebar kencang ketika tiba giliran Gadis Hantu Linau.
Bujang Enok yang duduk di sampingnya menoleh ke arah istrinya, “Aduhai adinda Mambang Linau, kakanda menjunjung hierarki titah raja,” bisik Bujang Enok. Mambang Linau mencerna maksud provokasi suaminya, dahulu menjawab

“Demi menjunjung titah raja dan rasa syukur atas tuah kawasan, saya bersedia menari,” jawab Mambang Linau spontan mengenakan selendang berwarna jingga dan naik ke atas arena.
Ia pun mulai goyang pinggul layaknya seekor kontol elang. Anda melambaikan selendangnya sekali lalu mengepak-ngepakkannya. para petandang ajakan terikat oleh ajojing Putri Hantu Linau, tanpa di sadari perlahan-petak kakinya lain bersandar di bumi. Tiba-tiba itu beliau pun terbang melayang, dan terbang ke angkasa berkiblat keindraan. Semua tamu invitasi yang hadir kaget menyaksikan hal tersebut.

Sejak itu, Putri Mambang Linau enggak kontak pula pula. Sejak itu pula, Batin Bujang Enok bercerai kasihdan hidup seorang diri. Sungguh osean pengorbanan Bujang Enok, ia rela mengalami ini semua demi menjunjung strata perbuatan nabi nabi muhammad sang Yamtuan.

Melihat pengorbanan Bujang Enok, sang Baginda pun menlantik menjadi Penghulu yang berkuasa di istana. Hingga ada sebuah pantun yang berbunyi:
Ambillah seulas si buah limau
Coba cicipi di ujung-ujung sekali
Ambillah pergi si Mambang Linau
Hamba sendiri menjunjung duli

Setelah kejadian itu, setiap waktu diadakan acara tari uang suap. Joget ini mengisahkan Amoi Mambang Linau sejak pertemuan setakat perpisahannya dengan Bujang Enok. gerakan dansa ini menyerupai burung elang, maka tarian itu dinamakan joget nasar-nasar. Awam Riau lebih menyebutnya tari olang-olang. Dansa olang-olang ini dimainkan dengan iringan redap (gubano) rebab, calempong dan gelegah. Dansa ini bisa dijumpai di kecamatan Siak dan Merbau, kabupaten Bengkalis, Riau, Indonesia.


Narasi Hang Tuah

Cerita Rakyat Riau B

Alkisah,Padazaman tinggal kala, Terserah seorang kesatria bernama Hang Tuah. Saat masihanak-anak, Dia dan ke­­dua orangtuanya Hang Mah­mud dan Dang Merdu menetap diPu­lau Bintan. Pulau ini terdapat di perairan Riau. Rajanya ialah Si Maniaka putraSang Sapurba raja besar nan bermahligai di Bukit Siguntang. Hang Mahmudberfirasat bahwa kemudian hari anaknya akan menjadi seorang pencetus yang terkenal. Ketikaberumur 10 musim, Hang Tuah meninggalkan berlayar ke Laut Cina Pelana­tan dengan 4sahabatnya, adalah Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Le­kir, dan Hang Lekiu. Dalamper­jalanan, me­reka kerap diganggu oleh ge­rom­­bol­­­­anlanun. Dengan rasa ke­­­be­ranian­nya HangTuah dan para sa­ha­­bat­nya bisa me­ngalahkan ge­­­rom­­­bolan itu. Ka­­baritu terdengar sam­pai ke te­linga Bendahara Pa­gundah Sunan Bintan yang sangatkagum pada ke­beranian mereka.

Baca juga:   Makna Musik Kontemporer Yang Paling Tepat Adalah

Suatu ketika Hang Tuah dan ke-4 sahabatnya berhasil mengalahkan 4 pe­­ngamuk yang menyerang Tuan Ben­da­­­­hara. Tuan Bendahara lalu meng­­ang­kat mereka misal anak angkatnya. Pemilik Ben­­­dahara lalu melaporkan mengenai ke­­­­he­­­­­­bat­­­­­an mereka lega Raja Sultan Syah Alam. Baginda Raja lagi timbrung merasa ka­gum dan juga mengangkat mereka se­­­ba­gai anak asuh angkatnya. Bilang tahun berlalu, Ba­ginda Ra­ja berencana mencari tempat baru seba­gai rahasia kerajaan. Dia dan pung­gawa ke­rajaan tercatat Hang Tuah dan para sa­­habat­nya, melan­cong ke seki­tar Selat Me­­­laka dan Selat Singapura. Rom­­bengkong­an akhir­­­nya sampai di Pu­lau Ledang Di sana rom­­bong­­an berpenyakitan­­lihat seekor pelanduk (napuh) pu­tih yang ternyata terik cak bagi ditangkap.

Menurut ular-ular ayah bunda-tua, kalau berpenyakitan­­­­nemui kancil putih di hutan maka tem­pat tersebut bagus dibuat negeri. Akhirnya di sana dibangun sebuah kawasan dan dinama­kan Melaka se­selaras sesuai etiket pohon Melaka nan cak semau di tempat itu. Selepas lama memerintah Ba­gin­da Raja berniat meminang seorang cewek cantik bernama Tun Teja gadis tung­gal Bendahara Terang Benua di Kerajaan Indrapura. Tapi sayangnya putri tersebut me­­no­lak pinangan Bagin­da Raja Penghabisan­nya Aji Pangeran melamar Raden Galuh Mas Ayu nona individual Seri Betara Maja­ki getir kanjeng sultan besar di tanah Jawa.

Sehari menjelang ijab nikah di ista­na Majapahit terjadi di suatu kecabuhan. Ta­ming Sari prajurit Majapahit nan su­dah sepuh tapi masih tangguh tiba-tiba meng­­­­­­amuk. Mengarifi keadaan tersebut, Hang Tuah sangat menghadang Taming Sari. Hang Tuah memiliki sendi lanjut pikiran de­ngan cara menukarkan kerisnya dengan keris Taming Bibit. Setelah keris ber­tukar, Hang Tuah terlampau berulangulang me­­nye­rang Taming Ekstrak. Taming Konsentrat baru ka­lah setelah keris sakti yang dipegang Hang Tuah ter­tikam ke tubuhnya. Hang Tuah lampau diberi gelar Laksamana serta dihadiahi keris Taming Sari.

Baginda Paduka bersama istri dan rom­­­­­­bong­annya lalu pun ke Melaka. Selama bertahun-masa wilayah ini lega dada dan juga tenteram. Hang Tuah menjadi laksa­mana yang sangat setia kepada raja Melaka dan silam disayang serta dipercaya raja. Situasi tersebut menimbulkan rasa iri dan dengki prajurit dan sida-sida istana. Suatu detik tersebar caci yang menyebutkan bahwa Hang Tuah sudah melakukan enggak sopan de­­ngan koteng dayang istana. Pe­­nyebar fitnah itu ialah Patih Kerma Wijaya nan merasa timburu pada Hang Tuah. Bagin­da Raja marah mendengar pemberitaan tersebut. Dia me­me­­­rintahkan Mangkubumi Paduka Raja kendati mengintimidasi Hang Tuah. Pemilik Benda­ha­ra sebenarnya tak kepingin melaksana­­­kan pe­­rintah Baginda Raja karena dia menge­ta­hui Hang Tuah tak bersalah. Tuan Ben­da­hara menyarankan cak agar Hang Tuah bergopoh-gopoh meninggalkan Melaka dan pergi ke Indrapura.

Di Indrapura, Hang Tuah kenal dengan se­­­orang wanita tua bernama Dang Ratna, inang Tun Teja. Dang Ratna lewat menjadi ibu angkatnya. Hang Tuah me­­mohon Dang Ratna lakukan melelai­­cerek wanti-wanti kepada Tun Teja supaya ingin me­­nya­yangi dirinya. Berkat upaya Dang Ratna, Tun Teja pun cak hendak memanjakan Hang Tuah. Hu­­­­­­­­­bung­­an keduanya adv amat menjadi sangat hampir. Satu momen, Indrapura kerelaan pe­rahu Melaka yang dipimpin oleh Tun Ratna Diraja dan juga Tun Bija Sura. Mereka me­­minta Hang Tuah kendati mau kembali ke Melaka. Tun Teja dan Dang Ratna sekali lagi ikut bersama delegasi.

Setibanya di Melaka, Hang Tuah ke­mu­­­lampion berjumpa dengan Sunan Raja. Hang Tuah bilang, Mohon magfirah, Tuanku, se­lama ini hamba tinggal di Indrapura. Ham­ba juga untuk selalu mengabdi se­­­tia ke­puas Baginda. Tun Ratna Diraja me­la­por­­­­kan pada Baginda Paduka tuan bahwa Hang Tuah da­kakaktua bersama Tun Teja, gadis yang dulu diidam-idamkan oleh Baginda Yamtuan. Sing­­kat ceri­ta, Tun Teja akhirnya ber­­­­sedia men­­bintang sartan istri ke­dua Prabu Raja biarpun se­benarnya kamu menya­yangi Hang Tuah. Hang Tuah lalu menyandang lagi se­­bagai Admiral Mela­ka, yang sangat setia serta disayang ratu.

Hang Tuah sekali lagi rantus fitnah se­te­­lah bertahun-perian tinggal di Melaka. Mende­­­­ngar cerca itu, kali ini Baginda Ra­­ja sa­­ngat berang serta mensyariatkan Tuan Ben­­dahara supaya memenggal Hang Tuah. Tuan Ben­­dahara tidak tega mem­bu­­­­­nuh Hang Tuah dan memintanya cak agar berpenyakitan­­­ng­­­ungsi ke Hulu Melaka. Hang Tuah berpenyakitan­nitipkan keris Ta­ming Sari ke Tuan Ben­­da­­­­­hara semoga cak agar pada Baginda Raja. Hang Jebat lalu menggantikan Hang Tuah seba­gai Laksamana Melaka. Oleh Baginda Sri paduka keris Taming Esensi diserahkan puas Hang Jebat.

Sepeninggal Hang Tuah, Hang Jebat pangling diri serta menjadi mabuk kekuasaan. Engkau ber­tindak sekenanya dan juga se­­ring bertindak tidak bersusila pada para pem­samudra imperium dan dayang-dayang. Banyak orang telah memburas­nya. Tapi, Hang Jebat tetap gentur pembesar, enggak cak hendak berubah. Sinuhun Raja men­bintang sartan kesal menyibuk kelakuan Hang Jebat. Tak koteng pun prajurit yang dapat mengalahkan Hang Jebat. Baginda kemudian ter­ingat kepada Hang Tuah. Tuan Ben­­da­hara memberitahu pada Pangeran Raja, Maaf Aji se­­­be­­na­r­nya Hang Tuah masih hidup. Anda me­­ngungsi ke Hulu Melaka.Atas perintah Ba­­gin­­­da Ra­ja, Hang Tuah mau kembali ke Melaka.

Hang Tuah menghadap Bagin­da Sri paduka serta menyata­­­kan kesiapannya me­antagonis Hang Jebat. Hang Tuah sangat diberi keris Purung Sari. Terjadi pemberontakan yang habis hebat antara 2 sahabat yang sangat setia dan nan mendurhaka. Suatu ketika Hang Tuah berakibat merebut keris Taming Konsentrat dan dengan keris tersebut, Hang Tuah bisa me­nga­­lah­kan Hang Jebat. Dia mati di pangkuan Hang Tuah. Hang Tuah juga diangkat umpama Lak­sa­mana Melaka. Sete­lah itu Melaka kem­bali damai.

Admiral Hang Tuah cak acap melawat ke luar negeri mengaras negeri Judah dan Rum untuk memperluas pengaruh cigak­jaan Derita­laka di seluruh marcapada. Suatu ketika Baginda Raja menugasi utus­an petualang ke Kerajaan Bijaya Naga­ram di India, nan dipimpin oleh Hang Tuah. Setibanya sampai di India, rombongan me­­­­­­­lanjut­­­­kan pelayaran ke negeri Cina. Di pe­­labuh­­an Cina, rombongan Hang Tuah terjadi perselisihan de­ngan basyar-orang Portugis, karena mereka sangat congkak, tak te­rima Hang Tuah melabuhkan kapalnya di sam­ping kapal Portugis.

Setelah mengha­­dap pada Raja Cina, kafilah Hang Tuah lalu derita­lanjut­­kan perjalan­an­nya kemba­li ke Me­laka. Di tengah saban­jalanan me­­­re­­ka di­se­rang maka dari itu bahtera turunan Por­­­tu­­gis. Hang Tuah bbisa meng­­­atasi se­­rang­­­an me­re­­ka. Kap­ten serta se­ozon­rang pe­r­­wi­­ra Por­­­tu­gis melari­kan diri ke Ma­nila, Fili­­pi­­na. Rom­­bengkong­­an Hang Tuah akhir­­nya sampai di Melaka dengan selamat. Suatu ketika raja Melaka beserta ke­lu­arga­nya berdarmawisata ke Singapura dikawal Lak­sa­mana Hang Tuah dan Patih Pa­­du­­ka Pangeran dengan bermacam rupa perahu ke­­be­sar­­an. Saar sampai di Selat Sang­ngapu­ra Sinuhun Sri paduka Alam melihat seekor ikan ber­si­sik kencana ber­­­matakan mutu manikam di se­kitar pe­­­­ra­hu Syah Standard. Saat mene­ngok ke per­­­mukaan air, mahkota Raja terban ke dalam laut.

Hang Tuah langsung menyelam ke dasar laut kontan menghunus keris Taming Pati untuk menjeput mahkota itu. Dia ber­­hasil cekut mahkota itu doang momen hampir tiba di perahu, seekor buaya polos besar menyambarnya setakat mah­ko­­ta beserta kerisnya jatuh pun ke laut. Hang Tuah kembali menyelam ke dasar la­ut­­­an berburu bingkatak itu. Sekadar ter­­­­­kasatmata mah­kota beserta kerisnya teguh lain bisa di­te­mu­ketel. Sejak kehilangan mah­ko­ta dan keris­­ Taming Konsentrat, Paduka tuan dan Hang Tuah membubuhi cap­jadi pe­murung serta sering sakit-sakitan. Padahal, Gubernur Portugis di Ma­nila amat marah mendengar butir-butir ke­­kalahan berbunga perwiranya yang berhasil me­­­lari­kan diri. Sehabis beberapa bulan me­­l­aku­kan ancang, angkatan perang Por­tugis berangkat ke Selat Melaka. Di tempat ini, mereka memulai ofensif plong Berpenyakitan­­­laka yang menyebabkan ba­nyak prajurit Melaka kewalahan. Padahal Hang Tuah menengah sakit berkanjang.

Denganketeguhannya, Hang Tuah ma­­sih bisa menyerang musuh, baik de­ngan pedang ataupunmeriam. Tapi, se­­­buah meninjau mesiu Portugis berbuah meng­­­­hantam HangTuah. Dia terlempar se­jauh 7 meter dan terduduk ke laut. Hang Tuah berhasildiselamatkan lalu di­panggul de­ngan kano Mendam Birahi kem­bali ke Melaka.Seluruh perahu pe­tinggi dan pasukan Mela­ka sekali lagi pun ke keraja­an. Demikianjuga halnya laskar Portugis kembali ke Manila karena banyak pe­mim­pinnya yangterluka. Peperangan ber­intiha tanpa ada yang ulung ataupun nan kalah. Setelahsembuh, Hang Tuah tidak lagi men­­­­­jabat sebagai Laksamana Melaka kare­na telahsemakin bertongkat sendok. Dia menjalani arwah­nya dengan menyepi di puncak bukit Jugara diMelaka. Ratu Raja sekali lagi sudah lalu lain lagi memimpin, Dia diganti­kan olehanaknya, Putri Ancala Ledang.


Kisahan Kuntum Kaca Mayang

Kota Pekanbaru adalah salah satu Daerah Tingkat II sekaligus misal ibukota Negeri Riau, Indonesia. Sebelum ditemukannya mata air minyak, Pekanbaru hanyalah sebuah kota pelabuhan kecil yang berada di tepi Sungai Siak. Cuma, waktu ini Pekanbaru telah menjadi kota yang gaduh dengan aktifitas perdagangannya. Letaknya yang taktis (berada di simpul segi tiga pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Singapura), menjadikan Kota Pekanbaru sebagai gelanggang transit (persinggahan) para wisatawan asing, baik berpunca Singapura maupun Malaysia, nan hendak berkunjung ke Bukittinggi alias medan-tempat enggak di Sumatera.

Keberadaan Kota Pekanbaru nan riuh-rendah ini mempunyai sejarah dan cerita idiosinkratis bagi masyarakat Riau. Terwalak dua versi mengenai asal-mula kota ini merupakan versi rekaman dan versi kisah rakyat. Menurut versi rekaman, pada masa silam kota ini hanya berupa dusun katai yang dikenal dengan sebutan Dusun Senapelan, yang dikepalai oleh seorang Batin (kepala dusun). Dalam perkembangannya, Dusun Senapelan berpindah ke tempat pemukiman baru yang kemudian disebut Dusun Payung Sekaki, yang terdapat di tepi Estuari Batang air Siak.

Jalan Dusun Senapelan ini akrab kaitannya dengan urut-urutan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Pada masa itu, kanjeng sultan Siak Sri Indrapura yang keempat, Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, bergelar Tengku Alam (1766-1780 M.), berkampung di Senapelan, yang kemudian membangun istananya di Kampung Ancala mepet dengan Dusun Senapelan (di sekitar Mesjid Raya Pekanbaru kini).

Enggak berapa lama bersemayam di sana, Sultan Abdul Jalil Alamudin Aji kemudian membangun sebuah ahad (pasar) di Senapelan, tetapi pekan itu tak berkembang. Gerakan yang sudah lalu dirintisnya tersebut kemudian dilanjutkan oleh putranya, Sunan Mulai dewasa Muhammad Ali di medan hijau ialah di selingkung pelabuhan waktu ini. Selanjutnya, pada hari Selasa tanggal 21 Rajab 1204 H atau sungkap 23 Juni 1784 M., beralaskan musyawarah datuk-pasak negeri catur tungkai (Tepi laut, Panca Puluh, Tanah Menjemukan dan Kampar), negeri Senapelan diganti namanya menjadi Pekan Baharu. Sejak saat itu, setiap tanggal 23 Juni ditetapkan umpama ulang tahun Kota Pekanbaru.

Baca juga:   Buku Jurnal Yang Tidak Digunakan Untuk Pencatatan Piutang

Berangkat saat itu pula, sebutan Senapelan sudah ditinggalkan dan mulai populer dengan sebutan Pekan Baharu. Sejalan dengan perkembangannya, waktu ini Pekan Baharu kian populer disebut dengan sebutan Daerah tingkat Pekanbaru, dan oleh pemerintah kewedanan ditetapkan sebagai ibukota Provinsi Riau.

Sementara menurut varian cerita rakyat yang hingga masa ini masih berkembang di kalangan masyarakat Riau, kerajaan yang berdiri di got Sungai Siak itu bernama Gasib. Kerajaan ini diperintah oleh seorang raja yang bernama Gasib. Konon, Kaisar Gasib memiliki koteng putri yang cantik jelita, namanya Dayang Kaca Manggar. Namun tak seorang raja ataupun bangsawan nan berani menanyakan sang Putri, karena mereka segan kepada Raja Gasib nan terkenal memiliki panglima bahaduri perkasa yang bernama Gimpam.

Lega suatu waktu, Baginda Aceh memberanikan diri meminang sang Putri, namun pinangannya ditolak oleh Raja Gasib. Karena kecewa dan merasa terhina, Kaisar Aceh bermaksud menyaingi permusuhan. Apa yang akan terjadi dengan Kerajaan Gasib? Bagaimana umur sang Dara? Suntuk, barang apa hubungannya cerita ini dengan asal mula Daerah tingkat Pekanbaru? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya n domestik kisah Putri Kaca Mayang berikut ini.

* * *

Alkisah, pada zaman purbakala, di tepi Kali besar Siak berdirilah sebuah imperium yang bernama Gasib. Imperium ini sangat populer, karena memiliki seorang panglima yang gagah perkasa dan disegani, Panglima Gimpam namanya. Selama ia menjadi penglima Kerajaan Gasib, tiada satu pun kerajaan lain yang dapat menaklukkannya.

Selain itu, Kerajaan Gasib juga mempunyai sendiri amoi yang kecantikannya mutakadim widita sampai ke berbagai distrik, Putri Kaca Mayang namanya. Sungguhpun demikian, tidak seorang aji lagi yang dakar meminangnya. Mereka merasa segan meminang sang Putri, karena Raja Gasib terkenal mempunyai Panglima Gimpam yang wirawan itu.

Pada suatu masa, Sunan Aceh memberanikan dirinya meminang Putri Kaca Arai. Kamu pun mengutus dua orang panglimanya lakukan menyampaikan maksud pinangannya kepada Sultan Gasib. Sesampainya di hadirat Sunan Gasib, kedua panglima itu kemudian menyampaikan maksud eksistensi mereka. “Ampun, Baginda! Kami yaitu utusan Raja Aceh. Maksud kesanggupan kami adalah untuk mengutarakan pinangan yamtuan kami,” lapor sendiri utusan. “Benar, Yamtuan! Sinuhun kami berniat menanyakan Putri Baginda nan bernama Putri Beling Mayang,” tambah utusan yang satunya.

“Maaf, Utusan! Putriku belum bersedia bakal menikah. Sampaikan aplikasi absolusi kami kepada raja kalian,” jawab Raja Gasib dengan mumbung kewibawaan. Mendengar jawaban itu, kedua utusan tersebut bergegas kembali ke Aceh dengan ingatan kesal dan kecewa.

Di hadirat Syah Aceh, kedua utusan itu melaporkan mengenai penolakan Yamtuan Gasib. Raja Aceh sangat kecut hati dan merasa terhina mendengar laporan itu. Sira lewat marah dan bertujuan untuk mengecap Kerajaan Gasib.

Sementara itu, Raja Gasib sudah mempersiapkan pasukan perang kerajaan buat menghadapi serangan yang bisa jadi terjadi, karena ia sangat mengenal kebiasaan Raja Aceh yang bermegah itu. Panglima Gimpam mengusung proteksi di Estuari Gasib, merupakan wilayah di seputar Wai Siak.

Rupanya segala apa persiapan Imperium Gasib diketahui oleh Kerajaan Aceh. Melalui seorang mata-matanya, Sri paduka Aceh mengetahui Panglima Gimpam yang gagah perkasa itu subur di Kuala Gasib. Makanya sebab itu, Raja Aceh dan pasukannya mencari jalan tidak untuk masuk ke provinsi Gasib. Maka dibujuknya sendiri penduduk Gasib menjadi penunjuk jalan.

“Hai, anak adam muda! Apakah ia penduduk negeri ini?, soal pengawal Raja Aceh kepada seorang penduduk Gasib. “Benar, Tuan!” jawab bujang itu pendek. “Jika begitu, tunjukkan kepada kami jalan darat mendatangi area Gasib!” desak pengawal itu. Karena mengetahui legiun nan dilengkapi dengan senjata itu akan menyerang area Gasib, jejaka itu menolak bakal menunjukkan mereka jalan menuju ke Gasib. Engkau tidak ingin menghianati negerinya. “Izin, Tuan! Sememangnya saya lain sempat seluk-beluk negeri ini,” jawab jejaka itu. Merasa dibohongi, pengawal Raja Aceh start-tiba menghajar pemuda itu hingga bagian belur. Karena tidak resistan dengan siksaan nan diterimanya, cowok itu terpaksa menjatah petunjuk jalan darat menuju ke sebelah Gasib.

Berkat ramalan pemuda itu, maka sampailah tamtama Aceh di negeri Gasib tanpa sepengetahuan Panglima Gimpam dan anak buahnya. Pron bila prajurit Aceh memasuki negeri Gasib, mereka mulai mengamati warga. Baginda Gasib yang semenjana berbua-bual dengan keluarga puri tidak mengarifi jika musuhnya telah memporak-porandakan kampung dan penduduknya. Momen prajurit Aceh menyerbu halaman kastil, barulah Raja Gasib pulang ingatan, tetapi perintah lakukan mengembari sudah terlambat.

Semua pengawal nan tidak luang mengadakan perlawanan telah tewas di ujung rencong (senjata tunggal Aceh) prajurit Aceh. N domestik sejenak, keraton berhasil dikuasai oleh prajurit Aceh. Kaisar Gasib tak bisa berbuat segala apa-apa. Ia hanya bisa menyaksikan para pengawalnya tewas suatu-persatu dibantai oleh prajurit Aceh. Cewek Kaca Manggar nan cakap jelita itu pun berhasil mereka gendong lari.

Panglima Gimpam yang mendapat laporan bahwa keraton telah dikuasai prajurit Aceh, ia bersama pasukannya segera kembali ke istana. Ia melihat mayit-mayit puruk-parak seram bakat. Panglima Gimpam terlampau murka dan bersumpah untuk menjajari kekalahan Kerajaan Gasib dan berjanji akan membawa kembali Amoi Kaca Mayang ke puri.

Bilamana itu juga Panglima Gimpam tiba ke Aceh bagi menunaikan sumpahnya. Dengan kesaktiannya, lain berapa lama sampailah Panglima Gimpam di Aceh. Tamtama Aceh telah mempersiapkan diri menyambut kedatangannya. Mereka telah menyiapkan dua ekor gajah yang besar buat menghadang Panglima Gimpam di pintu istana. Momen Panglima Gimpam tiba di gerbang istana, ia nocat ke punggung gajah osean itu. Dengan kesaktian dan keberaniannya, dibawanya kedua gajah nan telah dijinakkan itu ke puri untuk diserahkan kepada Pangeran Aceh.

Raja Aceh sangat terkejut dan takjub melihat kependekaran dan kesaktian Panglima Gimpam menjinakkan gajah nan telah dipersiapkan untuk membunuhnya. Akhirnya Sinuhun Aceh mengakui kesaktian Panglima Gimpam dan diserahkannya Putri Gelas Manggar untuk dibawa lagi ke istana Gasib.

Setelah itu, Panglima Gimpam segera membawa Putri Gelas Manggar yang sedang ngilu itu ke Gasib. Dalam pelawatan pulang, penyakit sang Putri semakin parah. Angin nan sedemikian itu kencang membuat si Putri rumit untuk bernapas. Sesampainya di Sungai Kuantan, Perempuan Kaca Mayang meminta kepada Panglima Gimpam buat berhenti sejenak. “Panglima! Aku sudah tak awet sekali lagi mencegat lindu ini.

Tolong sampaikan salam dan permintaan maafku kepada keluargaku di istina Gasib,” ujar si Putri dengan suara miring serak. Belum tahu Panglima Gimpam berkata barang apa-barang apa, sang Perawan pula menghembuskan nafas terakhirnya. Panglima Gimpam merasa bersalah sekali, karena ia lain berhasil membawa si Putri ke istana intern kejadian nasib. Dengan diliputi rasa duka nan benar-benar, Panglima Gimpam melanjutkan perjalanannya dengan membawa layon Putri Kaca Mayang ke hadapan Raja Gasib.

Sesampainya di istana Gasib, eksistensi Panglima Gimpam yang membawa layon sang Perawan itu disambut makanya keluarga istana dengan perhatian dayuh. Seluruh istana dan penduduk negeri Gasib ikut berkabung. Tanpa menunggu lama-lama, mayit Putri Kaca Mayang segera dimakamkan di Gasib. Sejak kesuntukan putrinya, Sunan Gasib sangat dayuh dan kesepian. Semakin hari kesedihan Tuanku Gasib semakin dalam. Untuk menghilangkan bayangan putri yang amat dicintainya itu, Raja Gasib memutuskan bakal meninggalkan keraton dan menyepi ke Bukit Ledang, Malaka.

Lakukan sementara waktu, tadbir kerajaan Gasib dipegang oleh Panglima Gimpam. Semata-mata, tak berapa lama, Panglima Gimpam pun bermaksud untuk meninggalkan kerajaan itu. Sifatnya yang tetap, takhlik Panglima Gimpam tidak ingin menikmati kesenangan di atas kesedihan dan penderitaan orang lain. Dia pun enggak kepingin mengambil milik turunan tidak walaupun kesempatan itu ada di depannya.

Alhasil, atas kehendaknya seorang, Panglima Gimpam berangkat menjauhi Gasib dan membuka sebuah perkampungan mentah, yang dinamakan Pekanbaru. Hingga sekarang, nama itu dipakai untuk menyebut nama ibukota Distrik Riau yaitu Kota Pekanbaru. Sementara, makam Panglima Gimpam masih dapat kita saksikan di Hulu Sail, sekitar 20 km dari daerah tingkat Pekanbaru.

* * *

Cerita rakyat di atas tidak hanya mengandung nilai-nilai sejarah, doang pun mengandung nilai-poin moral nan boleh dijadikan perumpamaan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-skor tata susila tersebut adalah sifat konstan dan enggak mau mengambil sesuatu yang bukan haknya. Kedua sifat tersebut tercermin plong kebiasaan Panglima Gimpam. Ketaatan Panglima Gimpam ditunjukkan pada sifatnya nan tidak mau bersenang-doyan di atas penderitaan rajanya, Raja Gasib. Anda bukan mau menikmati segala kesenangan dan kelimpahan nan ada internal istana, sementara rajanya atma menderita dan dirundung manah dayuh, karena ditinggal mati maka dari itu putri tercintanya. Di samping itu, Panglima Gimpam juga merasa bahwa ia tidak berkuasa untuk menikmati segala kemewahan itu, karena lain hak miliknya.

Dalam arwah turunan Jawi, hak dan properti, baik dimiliki pribadi, mahajana, ataupun penguasa sangatlah dijunjung tinggi. Hamba allah gaek-gaek Melayu mengatakan, “yang hak berharta, nan milik bertuan.” Dalam ungkapan kebiasaan juga disebutkan, “nasib baik orang kita pandang, eigendom orang kita kenang, pusaka orang kita syal,” yang maksudnya adalah hak dan milik bani adam teristiadat dipandang, dikenang, dipelihara, dihormati, dan dijunjung hierarki. Merampas dan mengatasi properti peruntungan khalayak secara tidak seremonial atau tidak seremonial, oleh orang sepuh-tua Jawi dianggap sebagai kelakuan terkutuk dan diyakini akan dilaknat oleh Halikuljabbar SWT. Hal ini sesuai dengan ungkapan adat Melayu yang mengatakan:

apa logo orang terkutuk,
cekut milik orang tak ia kemaruk

apa tanda orang celaka,
mengambil hoki orang bukan semena-mena

Sosok jompo-tua Melayu juga senantiasa mengingatkan kepada anak kemenakan ataupun anggota masyarakatnya, sepatutnya bukan menuruti temperatur nafsu, menjauhkan adat loba dan tamak terhadap harta. Kalaupun mempunyai harta benda, mudahmudahan dipelihara dengan baik dan benar supaya boleh memberikan khasiat bagi spirit di bumi dan di darul baka. Tennas Effendy intern bukunya “Tunjuk Ajar Jawi” banyak menyebutkan tentang kebesaran memelihara dan memanfaatkan hak nasib baik, baik n domestik rancangan kata majemuk, puisi, maupun puisi lama. Privat bentuk idiom di antarnya:

apa etiket Jawi jati,
hak miliknya ia cermati
hak milik orang tak ia hormati

apa nama Melayu putih,
memanfaatkan milik milik berhati-hati

apa jenama Melayu bertuah,
hak hak basyar engkau jaga
hoki milik diri sira jaga
hak hoki bersama dia bela

Dalam untaian sajak dikatakan:

aduhai ananda buda berpesan,
harta orang sira haramkan
milik orang engkau peliharakan
properti khalayak sira muliakan

Dalam untaian pantun pun dikatakan:

buah barangan masak setangkai
patah tangkai jatuh ke tanah
harta sosok jangan kau pakai
keseleo memakai timbrung pelimbah

(SM/sas/27/9-07)

Sumber :

* Diringkas semenjak Puteri Kaca Mayang: Bawah-Mula Kota Pekanbaru.

* Effendy, Tenas. 2006. Mengacungkan tangan Ajar Melayu.

* Indonesian Community. Sejarah Berdirinya Ii kabupaten Pekanbaru.

* Anonim. Riwayat hidup Kabupaten/Kota: Ii kabupaten Pekanbaru Riau.

Demikianlah artikel dari
dunipendidikan.co.id
mengenai
Cerita Rakyat Riau : Si Lancang Kuning, Putri Sapta, Asal Kota Dumai, Pulau Senua, Bencana Bantakup, Legenda Puti Mambang Linau, Hang Tuah, Amoi Gelas Mayang,
semoga artikel ini berguna buat kamu semuanya.

Penaja :

  1. https://officialjimbreuer.com/
  2. https://memphisthemusical.com/
  3. https://votizen.com/
  4. https://timeisillmatic.com/
  5. https://boutiquevestibule.com/
  6. https://thinknext.net/
  7. https://ariatemplates.com/
  8. https://worldbeforeher.com/
  9. https://bootb.com/
  10. https://excite.co.id/
  11. https://www.mobifrance.com/




Dongeng Cerita Rakyat Riau Kisah Si Lancang Berasal Dari Daerah

Source: https://duniapendidikan.co.id/cerita-rakyat-riau-beserta/