Home  »  Edukasi   »   Jelaskan Mengenai Hak Memiliki Kedudukan Yang Sama Dimata Hukum

Jelaskan Mengenai Hak Memiliki Kedudukan Yang Sama Dimata Hukum

By | 15 Agustus 2022

Jelaskan Mengenai Hak Memiliki Kedudukan Yang Sama Dimata Hukum.

Skip to content


Home

/

Proklamasi

/

Equality Before the Law n domestik Sistem Peradilan di Indonesia (Haris Azhar)

Equality Before the Law n domestik Sistem Yustisi di Indonesia (Haris Azhar)



Haris Azhar, SH, MA.
Direktur Administratif Lokataru Foundation,
Pembimbing Hukum dan HAM Perguruan tinggi Trisakti dan Sekolah tinggi Hukum Jentera Indonesia
Kuliah Umum Hukum di Perserikatan Syariat Gunung Jati
Tangerang, 21 Juli 2018


Problem Kunci

“Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 mementingkan semua penduduk negara bersamaan kedudukannya di privat hukum. Makna equality before the law ditemukan di akrab semua konstitusi negara. Inilah norma yang melindungi peruntungan asasi penghuni negara. Kesamaan di hadapan syariat berarti setiap penduduk negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. Maka setiap aparat penegak hukum terikut secara konstitusional dengan biji keadilan yang harus diwujudkan dalam praktik, Hanya menegakkan equality before the law enggak tanpa hambatan. Bisa berupa kendala yuridis dan politis, ataupun hambatan sosiologis dan serebral. maka diadakannya kegiatan kuliah awam ini dalam tulangtulangan mengasihkan pencerahan terkait dengan solusi – solusi permasalahan tersebut.”

I. Dasar Hukum Konsep EBL dalam Kehakiman di Indonesia

Equality Before the Law (selanjutnya, cak bagi memudahkan penulisan disebut EBL) adalah konsep yang sangat menyeluruh (berlaku dimana saja) dan tekstual bagi syariat. Secara universal EBL sudah menjadi prinsip hukum dan kenegaraan yang mensyaratkan adanya hukum dan diberlakukan bagi setiap turunan. Sementara itu tekstual, EBL tertulis dalam dokumen hukum nan induk rasam hukum yang menegaskan bahwa adat hukum berlaku bagi semua hamba allah ditempat hukum tersebut main-main. Sebaliknya, dari sisi syariat, bisa dilihat bahwa hukum tidak membiarkan dirinya hanya untuk menguntungkan bilang pihak tanpa alasan yang biasa dimuka hukum. Jikalau ada pengecualian maka hal tersebut merakut konsep syariat.

Lebih lanjut, salah suatu partikel penting n domestik hukum adalah substansinya yang patut mengagungkan makhluk, dalam bahasa Deklarasi Publik Hak Asasi Manusia (DUHAM) disebut ibarat Kehormatan Manusia (Human Dignity). Pada rejim hukum HAM, EBL adalah tema yang historis memiliki sejarah yang panjang. Beraneka ragam situasi yang mengganggu nilai asasi manusia diakibatkan makanya praktik buruk dan penggunaan hukum sekedar bagi menyajikan kemauan penguasa. Hal ini kemudian menjadi dasar pertentangan berbagai incaran, kekerabatan terdampak yang menyuarakan nasib baik asasi mereka. Konsolidasi pengakuan HAM, misalnya, bisa dilihat berpokok kemunculan DUHAM plong 1948. Pada DUHAM tersurat langgeng penolakan terhadap praktik diskriminasi (pasal 2). kian luas, plong DUHAM digunakan “setiap khalayak…” artinya lain dapat ada pengecualian hak terutama atas peruntungan nan dibutuhkan bagi eksistensi manusia untuk spirit lebih status, termasuk menunda diskriminasi hukum.

EBL merupakan riuk suatu konsep bagi mengembari diskriminasi, sebagaimana tergambar di atas. Upaya mengganjar praktik ini juga menjadi fragmen berpangkal tanggung jawab Negara. Penjelasannya adalah, mula-mula, setiap negara atau dominasi harus mendasarkan kekuasaan dan pengaturannya berdasarkan pada hukum. Bagi Indonesia, hal ini bisa dilihat berusul pasal 1 ayat 3 UUD 19945, nan menyatakan bahwa ‘Negara Indonesia adalah Negara Syariat’. Kedua, hukum tersebut harus bermain untuk setiap hamba allah, enggak sekedar warga negara. Pasal 28D menyebutkan bahwa ‘Setiap turunan berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian syariat yang objektif serta perlakuan nan sama dihadapan hukum’. Sedangkan pasal 27 (1) menegaskan semua warga negara bersamaan kedudukannya di n domestik hukum. Bersumber kedua pasal diatas, bisa digambarkan bahwa cak semau perlakuan, yang seharusnya, sama baik bagi setiap orang ataupun bagi setiap penghuni negara. Perbedaannya, pada pasal 27 (1) cak semau dalam bab Pemukim Negara dan Penduduk. Temporer pada pasal 28D kreatif sreg bab HAM. Artinya, kesetaraan dimata hukum adalah sesuatu nan mendasar baik untuk tanggung jawab negara terhadap setiap orang yang bernas di Indonesia, ataupun terlebih n domestik konteks global (misalnya, disebutkan dalam pengenalan UUD 1945, ‘..turut serta menjaga perdamaian dunia..”) dan buat warga negaranya.

Makhluk konstitusi dalam hukum atas kepastian EBL bisa dilihat dalam UU Nomor 48 tahun 2009 akan halnya Pengaturan Yustisi pasal 4 (1) yang menyebutkan ‘Mahkamah mengadili menurut hukum dengan tidak diskriminatif orang’. Undang-undang ini menegaskan bahwa Yuridiksi Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan badan Yustisi yang makmur dibawahnya seperti mana yustisi awam, peradilan militer, kehakiman agama dan kehakiman pengelolaan usaha negara. Termasuk yustisi khusus nan produktif dibawah peradilan mahajana, seperti mana majelis hukum HAM, meja hijau anak, perbicaraan aliansi industrial, pidana perikanan, pengadilan tindak pidana kecurangan dan pengadilan niaga (pasal 18, pasal 25 dan pasal 27). Selain Mahkamah Agung, pun secara sejajar Kekuasaan Kehakiman main-main kerjakan Perdata Konstitusi. Dengan demikian sudah lalu jelas bahwa Peradilan di Indonesia privat hal ini melewati Perbicaraan Agung dan Badan-bodi Yustisi dibawahnya serta Mahkamah Konstitusi mengemban tugas menjamin persamaan setiap insan di muka hukum (Equality Before the Law).

II. Praktik Yustisi di Indonesia

Praktik yustisi di Indonesia tidak menunjukkan gambar nan mulus dalam menjamin EBL terwujud bagi setiap bani adam di Indonesia. Pada bagian ini untuk menggambarkan problem EBL akan titik api pada sejauh mana kehakiman boleh diakses bagi sosok miskin atau lebih-lebih kehakiman justru menjadi sesuatu yang mengerikan bikin warga pada umumnya.

Sejumlah kebobrokan dapat dilihat, dimulai berpokok, Perbicaraan Agung itu seorang yang menjadi ujung pengasuh akal masuk keadilan. Mahkamah Agung dalam upaya memastikan rencana kerjanya puas 2010 membentuk ‘Cetak Biru Pembaruan Pengadilan Agung 2010-20135’ yang memuat sejumlah problem, diantaranya,

“[..] terbit penilaian organisasi atau Organizational Diagnostic Assessment (ODA) pada masa 2009, pengejawantahan bentuk peradilan tunak mendapat habuan sorotan dari berbagai guri, antara lain mengenai publikasi proses peradilan yang terpejam, biaya berperkara yang tinggi, masih sulitnya akses masyarakat miskin dan terpinggirkan, serta proses penyelesaian perkara yang dirasakan masih sangat lama.” (hal. 3)

Demikian pula dengan awam internasional sama dengan World Justice Project yang setia menguji penampilan kehakiman di 46 negara, termuat Indonesia, terutama sreg konteks Access to Justice (Akses Keadilan). Angket yang dilakukan bertujuan lakukan memotret bagaimana warga pada umumnya berurusan dengan masalah hukum, konflik-konflik hukum, penilaian dari warga atas proses penyelesaian konflik baik secara normal atau informal serta pengalaman orang-individu yang lain mencari bantuan hukum atau yang tidak bisa menyelesaikan kelainan hukumnya. Temuan berbunga pol WJP teranyar (2017) adalah 26 persen dari responden mengalami insiden masalah hukum selama dua periode bontot; dari 26 komisi di atas, terdapat dua persen di mana riuk satu pihak mengalami kekerasan; pecah jumlah 26 uang lelah, hanya 8 uang lelah yang berburu sambung tangan hukum (ke negara atau pihak ketiga) untuk penuntasan masalahnya, sementara 92 tip lain melakukannya; bersumber 8 persen yang berburu bantuan hukum semata-mata 79 uang lelah yang mendapati penuntasan atas permasalahan hukumnya; dari yang selesai tersebut didapati hasil survei bahwa rata-rata waktu yang dibutuhkan adalah 1,98 bulan; mengalami kesulitan komisi untuk membayar biaya penyelesaian masalah sebanyak 4 uang jasa; menyatakan puas sebanyak 90 persen. Berpunca 8 uang tersebut ada 88 persen sempat kemana harus mencari nasihat hukum, 93 tip yakin akan mendapatkan hasil yang bebas dan 78 komisi mendapatkan bantuan bermula ahli yang mereka butuhkan.

Sementara tulisan dari limbung masyarakat, terutama berusul kalangan pekerja uluran tangan hukum dan organisasi advokasi Hukum dan HAM, didapati beberapa masalah nan melukiskan persoalan bahwa hukum dan proses yustisi enggak menjadi pelindung akan doang bahkan sebagai senjata yang mendiskriminasi warganya. Catatan ini dibuat melangkaui penyelidikan dan gelar perkata di 10 ii kabupaten di Indonesia, proses ini dilakukan solo sebagai respon atas maraknya, barang apa yang cak acap disebut bak kriminalisasi terhadap berbagai kalangan dari yang minoritas, rentan hingga bernuansa politis serta memiliki kelebihan kulak. Garitan tersebut terdiri semenjak 3 bagian; pra-judicial process (sebelum memasuki pengadilan), proses pengadilan dan pembutkian, dan terakhir pada bagian tetapan.

Pada bagian pertama, didapati temuan Bantuan Hukum yang tidak memadai, seringkali ditunjuk secara sepihak oleh orang seorang aparat penegak syariat untuk sekedar formalitas, atau ditunda pemberiannya. Justru dalam beberapa kasus bantuan hukum adakalanya tidak diberikan oleh aparat penegak hukum; Bukan terserah Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP), Lain suka-suka/interupsi kopi penangkapan dan penahanan, Pelapor tidak jelas, Pasal yang disangkakan tidak jelas/dipaksakan; Berita Acara Penapisan (BAP) tidak diberikan, Kolusi rekonstruksi kasus. Kedua, pada bagian Perabot bukti, didapati sejumlah hal, laksana ciri adanya kriminalisasi; Penyiksaan untuk syahadat, Radas bukti dan barang bukti palsu, semata-mata menggunakan syahid penyidik, Saksi dari terselami kasus yang sama. Ketiga, lega bagian tetapan, dimana ciri-cirinya adalah Syahid merenggangkan (a de charge) tak dipertimbangkan makanya Wasit, Hakim mengabaikan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dicabut, Pertimbangan Hakim tidak sederum dengan bukti yang dipedulikan, Kesalahan penerapan hukum. (hal 13-18)

Terbaru adalah hasil berpokok Indonesian Judicial Reform Forum (IJRF) pada 2018, selain memotret sejumlah kesuksesan institusional berpokok Reformasi Peradilan, juga masih mencatat sejumlah tantangan kedepan, begitu juga digambarkan dibawah ini,
“Pembaruan peradilan masih dipahami sebagai barang bawaan jawab lembaga perdata semata dan belum dipahami umpama tanggung jawab bersama seluruh tulangtulangan peradilan, APH, penasihat hukum, lembaga pendidikan hukum, dan publik sipil.

Reformasi peradilan baru dirasakan menyentuh secara luas pada rang pengadilan, khususnya di MA. Restorasi peradilan belum menjangkau pengadilan ditingkat bawah bagaikan cermin pertama lembaga pengadilan di hadapan publik, serta rencana-lembaga kehakiman dan penegak hukum lainnya.

Perombakan peradilan yunior melanglang secara institusional khususnya di lembaga perbicaraan pada sejumlah area dan tingkatan strategis, dan belum menjangkau pada restorasi hukum yang menyeluruh dan integral. Hal ini terjadi karena keadaan Cetak biru Reformasi Hukum sebagai pemandu, serta belum optimalnya sinergitas prioritas pembaruan hukum oleh masing-masing cabang-cabang pengaruh (DPR, Pemerintah dan lembaga yudikatif).

Peladenan peradilan masih diwarnai dengan adanya kriminalisasi, pungutan palsu, biaya beracara yang tidak jelas, jadwal sidang yang bukan menentu, putusan yang tidak konsisten/ketidaktetapan vonis, serta ketertutupan informasi buat pihak di luar pihak yang berperkara.

Aparatur lembaga peradilan belum seluruhnya menyadari sumber mandat dan tujuan terdahulu proses yustisi dan penegakan hukum.
Advokasi pembaruan peradilan yang dilakukan oleh masyarakat sipil belum sepenuhnya integral dan mengaras sreg persoalan subtansial dengan menggunakan data-data rancangan penegak hukum secara maksimal.

Pelaksanaan dan hasil program-program perombakan peradilan belum sepenuhnya diketahui secara luas maka dari itu publik, melainkan tekor tetapi sreg pihak-pihak yang intens memberikan asistensi acara reformasi.” (hal 18-19)

III. Inferensi dan Peluang EBL dimasa depan

Pemaparan di atas melukiskan bahwa bilang temuan yang persistent (sudah berlanjut lama dan masih terjadi hingga periode ini); purwa, persoalan peradilan bukan hak yang merata dirasakan, bisa diakses maupun terinformasikan bagi setiap cucu adam di Indonesia. Dengan perkenalan awal enggak EBL lain ter-ejawantahkan dengan baik dan otomatis hanya dengan modal norma hukum, institusi dan penyediaan Sumber Pokok Orang; kedua, terdapat bilang faktor yang memengaruhi yustisi yang menghambat pemenuhan dan pelaksanaan EBL begitu juga keburukan ekonomi dan pendidikan warga ibarat penikmat peradilan, sampai-sampai masalah pendidikan juga menjadi problem di kalangan para penegak hukum. Masalah politis juga muncul sebagai penuntut berjalannya proses peradilan terutama lega kasus Kriminalisasi. Privat pra Judicial process, melibatkan Petugas keamanan, di mana Penjaga keamanan bekerja berlandaskan perintah komandan. Seringkali pendirian syariat kalah berbunga model perintah seperti ini. Sementara pihak pengadilan jarang kosen mengamalkan koreksi atas kesalahan dalam penyidikan oleh Kepolisian. Artinya SDM Pidana belum secara kuantitas menjadi independen dan obyektif; Ketiga, kelainan minimnya perubahan rasam (terutama hukum programa intern berproses internal peradilan). Meskipun di satu jihat disediakan Perbicaraan Konstitusi untuk menguji dan mengingkari aturan main syariat, namun kejadian ini lain menjamin tumbuhnya ajun mahajana atas hukum dan aksesibilitas masyarakat pencari keseimbangan bagi dengan mudah menggunakan dalam kepentingan haknya.

Tinggal apa nan tersisa cak bagi membangun optimisme perlindungan EBL pada sistem peradilan? Cak semau banyak yang bisa dijadikan rekomendasi bakal menolak optimisme menjajari permasalahan diatas. Sejumlah diantaranya berupa, pertama, meningkatkan kualitas pekerja atau pelaku syariat nan mempunyai wawasan baik n domestik memahami prinsip hukum tanpa berbasis keefektifan strategis atau ekonomi amung. N kepunyaan keberanian dan independen internal menjalankan praktik hukum; memiliki kemampuan bakal meluluk hukum yang harus berpihak pada yang membutuhkan, enggak sekedar yang kreatif mengupah atau menjadikan hukum sebagai obyek kontraktual (pelayanan jasa satu-satunya); memastikan semua syarat di atas bepergian merata sreg profesi-profesi hakim, pendesak umum, pembela, polisi dll. Kedua, kontribusi akademisi dalam membangun diskursus yang mendalam, berasio tetapi juga mudah dipahami oleh publik, intern konteks pendidikan publik. Bahkan sekiranya perlu menunda kependekaran publik kerjakan berargumentasi dan mengakses syariat. Ketiga, pengawasan pada mekanisme peradilan bisa bepergian, baik institusi-institusi pengawasnya (seperti komisi etik organisasi profesi, komisi-komisi negara dan badan peramal internal institusi) ataupun pengawas strategis seperti DPR dan Kepala negara sebagai kepala negara bisa optimal privat mengawasi dan mendesak transparansi institusi peradilan, untuk itu berfaedah bagi umum untuk hampir dan cerdas internal proses politik yang menghasilkan kepemimpinan kebangsaan, melalui Pemilu. Karena dengan hasil pemilu nan baik, bukan sekedar proses pemilunya yang baik, akan menghasilkan kepala yang sadar dan berpihak pada penegakan hukum.

***

Mata air referensi dan data:
• Dr. Jaenal Aripin, MA, Himpunan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, 2010
• World Justice Project, Global Insight of Access to Justice, Findings from the World Justice Project General Population Poll in 45       Countries, 2018
• Majelis hukum Agung, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, 2010
• KontraS, YLBHI, PSHK dkk, Kriminalisasi Modus dan Kasus-kasusnya di Indonesia, 2016


admin

2022-03-17T19:02:28+07:00




Jelaskan Mengenai Hak Memiliki Kedudukan Yang Sama Dimata Hukum

Source: https://lokataru.id/equality-before-the-law-dalam-sistem-peradilan-di-indonesia/