Kedaulatan Pertama Kali Diperkenalkan Seorang Ahli Kenegaraan Adalah.
SuaraJogja.id –
Kemandirian merupakan kekuasaan terala yang dimiliki oleh satu negara buat secara nonblok melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya pangkal sekadar kegiatan tersebut enggak bertentangan dengan hukum internasional. Berikut penjelasan sifat-rasam otonomi secara konseptual.
Kebebasan satu negara lain lagi berwatak mutlak alias tiranis, akan saja pada perenggan-batas tertentu harus mengagungkan otonomi negara lain, nan diatur melalui hukum internasional. Keadaan inilah yang kemudian dikenal dengan istilah kebebasan negara berperilaku nisbi.
Indonesia seorang menerapkan kebebasan rakyat nan signifikan tadbir berkat tangan kanan berbunga rakyat, maka itu rakyat, dan bagi rakyat.
Ilustrasi tunggul ahmar bersih (Pixabay.com/Mufid Majnun).
Kedaulatan rakyat ini sayang juga disebut dengan demokrasi nan bermakna tadbir dari, oleh, dan kerjakan rakyat.
Baca Juga: Atasan Umum PKR Ajak Anak asuh Muda Teladani Pahlawan Slamet Riyadi
Ciri-ciri sistem rezim menganut kebebasan rakyat ibarat berikut:
1. Adanya agunan atas kepunyaan penduduk negara2. Adanya kolaborasi rakyat terhadap pemerintahan3. Adanya pemilu yang independen dan adil serta dilaksanakan secara periodik4. Adanya bagan agen rakyat maupun legislatif5. Adanya pengaturan atau pemgawasan terhadap jalannya pemerintahan, baik maka dari itu susuk legislatif maupun secara sederum makanya rakyat.6. Mempunyai prosedur pertanggung jawaban pemerintah terhadap rakyat.
7. Menerapkan mandu kerakyatan internal penyelenggaraan negara.
Tentang penjelasan Sifat-aturan Otonomi Rakyat yaitu ibarat berikut:
• Permanen artinya otonomi tetap cak semau sejauh negara itu tegar berdiri walaupun pemerintahannya sudah berganti.
• Kudus artinya kemerdekaan enggak mulai sejak dari kekuasaan bukan nan makin jenjang.
• Buntar atau spesifik artinya otonomi tidak dapat dibagi-untuk karena akan mengeruhkan sifat kedaulatan laksana kekuasaan termulia. Kekuasaan tersebut merupakan suatu-satunya di intern negara.
Baca Juga: Pengertian Kedaulatan Rakyat Menurut Sudut Pandang Islam
• Tidak terbatas artinya kebebasan tidak boleh dibatasi oleh segala pun dan oleh siapa lagi.
Andai negara nan berdaulat, negara Indonesia kebebasan tertingginya ki berjebah di tangan rakyat.
(unsplash)
adjar.id
– Kerumahtanggaan suatu
negara
terletak empat resan kemerdekaan yang taktik perumpamaan kekuasaan tertingi kerumahtanggaan menentukan syariat.
Kebebasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kontrol tertinggi atas pemerintah negara, negeri, dan sebagainya.
Plong muslihat Pendidikan Pancasila dan Nasional kelas 8 SMP, terdapat suatu soal di uji kompetensi 2 jerambah 55.
Baca Juga: Teori Kemerdekaan Menurut Tukang Kenegaraan
Soal tersebut meminta kita untuk menjelas empat sifat mulai sejak kedaulatan yang juga ialah
materi PPKn
inferior 8 SMP.
Kali ini, kita akan membahas mengenai jawaban dari soal tersebut sebagai referensi bagi Adjarian saat mengerjakannya.
Kemerdekaan terbagi menjadi dua jenis, adalah independensi ke n lokal dan lagi kedaulatan keluar.
Yuk, kita simak penjelasan buat jawaban cak bertanya di uji kompetensi dua tentang empat sifat independensi berikut ini!
Page 2
Laksana negara nan berdaulat, negara Indonesia kemandirian tertingginya congah di tangan rakyat.
(unsplash)
1. Kemerdekaan Berperilaku Kalis
Kebebasan mempunyai sifat nan sejati, artinya kekuasaan nan cak semau dalam suatu negara lain beradal bersumber kekuasaan lain nan lebih tingkatan.
Kemerdekaan berkepribadian zakiah ini dapat disebut bak kedaulatan yang adikara yang bukan cak semau supremsi lain yang makin tangga di n domestik suatu negara.
Ambillah, di privat satu negara yang demokrasi kedaulatan ini asalnya murni bersumber rakyat nan berlimpah di n domestik negara tersebut.
Baca Kembali: Gambar dan Pendirian Kemerdekaan nan Dimiliki Negara Indonesia
Kaprikornus, independensi yang berasal berusul rakyatlah yang yaitu kekuasan teratas falak tempatan suatu negara.
Rakyat mengidas presiden sebagai melaksanakan otonomi yang asalnya berbunga rakyat tersebut.
Makanya karena itu, presiden nan terseleksi terbit rakyat yaitu susuk pelaksana kedaulatanyang tetap mendengarkan aspirasi rakyat.
Keadaan ini harus dilakukan karena presiden dipilih makanya rakyat atas dasar pengapit rakyat bagi memegang otonomi negara.
Page 3
Misal negara yang berdaulat, negara Indonesia kedaulatan tertingginya berada di tangan rakyat.
(unsplash)
2. Independensi Berkepribadian Permanen
Kedaulatan sekali lagi punya kebiasaan yang permanen, artinya otonomi nan dimiliki satu negara konstan akan cak semau sejauh negara tersebut berdiri.
Kongkalikong seharusnya pemerintahan berpalis, kemandirian suatu negara tetap cak semau karena nan melongok hanyalah pemerintahannya bukan negaranya.
Padalah, internal situasi ini kita bisa memafhumi bahwa pemegang otoritas bisa selamana berada sebagai penguasa.
Baca Kembali: Mengenal Rancangan Negara sebagai Pencipta Kemerdekaan Rakyat
Akan belaka, negara akan taat terserah supaya pemegang kekuasaannya berpalis, peristiwa ini yang membuat kemandirian negara mempunyai kebiasaan permanen.
3. Independensi Bersifat Partikular
Kebebasan mempunyai sifat partikular, yang artinya kekuasaan akan halnya kemandirian ini tetapi satu-satunya di dalam negara serta bukan boleh diberikan kepada awak tidak.
Kedaulatan ini mempunyai kebiasaan tunggal mudah-mudahan lain ada percekcokan di n domestik negara kongkalikong bagi memperebutkan independensi.
Ambillah, negara kerakyatan kontrol tertingginya bernas di tangan rakyat yang menjadikan rakyat sebagai amung yuridiksi paling hierarki dalam negara.
Page 4
Ibarat negara yang berdaulat, negara Indonesia kedaulatan tertingginya berada di tangan rakyat.
(unsplash)
Kekuasan yang dipegang oleh rakyat ini enggak bisa diberikan kepada badan lain yang bukan rakyat.
Kejadian ini dikarena kalau otonomi dibagi maka kedaulatan boleh kehabisan wadah dan dapat digantikan oleh kedaulatan-kemandirian lainnya nan tidak sesuai dengan ideologi negara.
Jadi, jika otonomi negara tergangu maka dari itu gerombolan atau badan tertentu, laksana rakyat kita harus segera menjaga kedaulatan seyogiannya bukan hilang.
Baca Pula: Urut-urutan Demokrasi di Negara Republik Indonesia
4. Kedaulatan Berperangai Lain Terbatas
Kebebasan mempunyai aturan yang tidak terbatas, artinya pengaturan tersebut enggak boleh dibatasi dengan adanya otoritas lain.
Negara kerakyatan, kekuasan teratas fertil di tangan rakyat, apabila kontrol rakyat dibatas makanya kekuasaan enggak dapat menimbulkan konflik.
Medali kanser, apabila negara sudah mengatakan bahwa independensi negara kreatif di tangan rakyat, maka harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ambillah, Adjarian itulah penjelasan mengenai empat aturan kemerdekaan yang bisa menjadi referensi untuk menjawab cak bertanya uji kompetensi 2 lega jerambah 55, ya.
Yuk, tonton video ini juga!
Negara berdaulat
internal hukum sejagat adalah ahadiat yuridis nonfisik yang diwakili oleh satu pemerintah tergabung nan mempunyai kemerdekaan atas kewedanan geografis. Syariat antarbangsa mendefinisikan negara-negara berdaulat sebagai wahdah yang memiliki warga permanen, wilayah patuh, pemerintah, dan kapasitas bagi turut ke n domestik sangkut-paut dengan negara-negara berdaulat.[1] Situasi ini pula dipahami bahwa negara berdaulat enggak mengelepai lega ataupun n peruntungan kekuatan alias negara tak.[2]
Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa nan yakni negara berdaulat, walaupun bukan semua negara-negara berdaulat pasti menjadi anggotanya.
Eksistensi alias hilangnya satu negara adalah persoalan proklamasi.[3] Temporer itu menurut teori deklaratif kenegaraan, sebuah negara berdaulat dapat ada tanpa harus diakui oleh negara-negara berdaulat, biarpun seandainya suatu negara redup tanpa pengakuan negara enggak akan burung laut menemukan kesulitan bagi berlaku munjung internal masalah kekuatan mewujudkan perjanjian dan terbabit dalam gayutan diplomatik dengan negara-negara berdaulat.
Negara menclok ke dalam kehadiran perumpamaan individu yang “secara bertahap dipindahkan kepatuhan mereka berbunga bani adam penguasa (syah, adipati, kaisar) bikin enggak substansial tapi entitas teritorial ketatanegaraan negara”.Templat:Attribution needed[4] Negara ini ialah keseleo suatu dari sejumlah order politik nan unjuk berpunca feodal Eropa, lainnya menjadi negara kota, liga, dan kekaisaran dengan klaim universalis ke otoritas.[5]
Kemandirian Westfalen merupakan konsep otonomi negara nasional berdasarkan teritorial dan enggak adanya peran badan-jasmani eksternal di struktur intern negeri. Ini ialah sebuah sistem internasional dari negara-negara, perusahaan multinasional, dan organisasi-organisasi yang dimulai dengan Perdamaian Westfalen sreg hari 1648.
Kedaulatan ialah istilah nan sering disalahgunakan.[6][7] Sampai abad ke-19, konsep terradikal “standar-standar tamadun” secara rutin digunakan untuk menentukan bahwa bilang bangsa di manjapada “tidak berbudaya” dan memiliki mahajana yang tekor terorganisir. Posisi itu tercermin dan didasari lega gagasan bahwa “kedaulatan” itu khusyuk kurang, maupun sedikitnya karakter inferior bila dibandingkan dengan sosok-sosok yang “beradab”.[8] Lassa Oppenheim berbicara, “Kali enggak terserah konsepsi yang maknanya kian polemis ketimbang kedaulatan. Ini adalah fakta nan tidak terbantahkan bahwa konsepsi ini, sejak awal diperkenalkan ke kerumahtanggaan ilmu ketatanegaraan sampai masa ini, enggak pernah memiliki makna nan disepakati secara mondial.”[9] Privat pendapat H. V. Evatt berpangkal Perdata Tinggi Australia, “kedaulatan yaitu enggak sebuah pertanyaan akan halnya fakta, maupun pertanyaan akan halnya hukum, tapi pertanyaan itu enggak unjuk kadang kala.”[10]
Kedaulatan telah diambil pada makna yang berlainan dengan ekspansi mulai sejak pendirian penentuan sendiri dan pantangan terhadap ancaman maupun pemakaian arti laksana norma-norma jus cogens syariat jagat modern. Privat Arsip PBB, Konsep Warta mengenai Nasib baik dan Muatan Negara dan pertinggal dari organisasi kedaerahan internasional mendedahkan penglihatan bahwa semua negara secara yuridis sepadan dan menikmati properti dan kewajiban yang selaras berdasarkan fakta eksistensi mereka sebagai manusia-insan di dasar hukum antarbangsa.[11][12] Peruntungan negara lakukan menentukan status ketatanegaraan dan praktik kemerdekaan permanen sendiri kerumahtanggaan batas-had yurisdiksi teritorial mereka secara luas diakui.[13][14][15]
Dalam ilmu ketatanegaraan, kedaulatan biasanya didefinisikan laksana atribut yang minimal penting bersumber negara dalam bentuk berdikari lengkap di n domestik lis dari satu negeri tertentu, yakni supremasi intern kebijakan tempatan dan kemerdekaan di asing negeri.[16]
Dinamakan berdasarkan Traktat Westfalen 1648, sistem kemerdekaan negara Westfalen nan menurut Bryan Turner adalah “membuat separasi nan bertambah alias tekor jelas antara agama dan negara, dan mengakuri hak para pangeran ‘bakal mengakui’ negara, yaitu, lakukan menentukan agama yang dianut imperium mereka internal mandu realistis cuius regio eius religio.”[17]
Contoh kedaulatan negara Westfalen mutakadim semakin dikritik berusul pihak “non-barat” misal suatu sistem yang diberlakukan semata-mata maka itu Kolonialisme Barat. Apa yang model ini bagi ialah membentuk agama menjadi bidak bakal politik, masalah yang telah menyebabkan beberapa masalah di manjapada Selam. Sistem ini lain cocok di manjapada Islam karena konsep-konsep begitu juga “pemisahan katedral dan negara” dan “hati hati kecil hamba allah” yang tidak diakui intern agama Islam seumpama sistem sosial.
Privat penggunaan kasual, istilah “negara”, “nasion” dan “negara (statum)” yang sayang digunakan seolah-olah identik, namun dalam memilah-milah penggunaan mereka dapat dibedakan:[titit rujukan]
- Negara menunjukkan wilayah tanah didefinisikan makanya fitur geografis atau senggat-senggat garis haluan.
- Nasion menunjukkan makhluk-bani adam yang diyakini ataupun dianggap lakukan berbagi kesamaan adat istiadat, agama, bahasa, asal-usul, silsilah, alias sejarah. Cuma, alas kata aturan kebangsaan dan antarbangsa yang caruk digunakan bikin merujuk ke hal-hal yang berkaitan dengan apa yang sungguh-sungguh berdaulat, seperti ibu daerah tingkat negara, syariat sejagat.
- Negara (statum) merujuk kepada kumpulan nan mengeset dan mendukung gambar-rangka yang memiliki kemerdekaan yang tentu atas wilayah dan warga. Negara-negara berdaulat ialah insan-khalayak syariat.
Pengakuan negara menandakan keputusan berpokok sebuah negara berdaulat kerjakan memberlakukan wahdah tak kembali menjadi sebuah negara berdaulat.[18] Syahadat dapat positif dinyatakan atau tersirat dan biasanya berlaku surut internal dampaknya. Itu lain selalu menandakan kedahagaan untuk membangun ataupun mempertahankan sangkut-paut diplomatik.
Tak terserah definisi nan menghubungkan semua anggota mahajana bangsa-bangsa puas patokan kenegaraan. Kerumahtanggaan praktik yang sebenarnya, kriterianya terutama kebijakan, bukan hukum.[19] L. C. Green mengutip syahadat negara Polandia dan Cekoslowakia yang belum lahir kerumahtanggaan Perang Bumi I dan menjelaskan bahwa “sejak syahadat kenegaraan yakni ki aib kebijaksanaan, itu mangap untuk semua negara nan ada bagi mengakui sebagai sebuah negara dengan setiap entitas itu berwujud keinginan, terlepas dari keberadaan area atau berasal yang ditetapkan pemerintah.”[20]
Namun, kerumahtanggaan hukum jagat ada bilang teori saat sebuah negara harus diakui sebagai negara berdaulat.[21]
Teori konstitutif
Teori kenegaraan konstitutif
mendefinisikan negara perumpamaan pribadi hukum dunia semesta jika, dan hanya seandainya, hal ini diakui sebagai negara oleh negara-negara lain. Teori pengakuan ini dikembangkan plong abad ke-14. Di dasar ini, sebuah negara menjadi berdaulat sekiranya negara berdaulat tidak mengakui seperti itu. Karena ini, negara-negara plonco lain bisa lekas menjadi bagian dari mahajana jagat ataupun terhibur oleh syariat jagat, dan diakui negara-negara yang lain menghormati hukum jagat tepi langit lokal hubungan mereka dengan mereka.[22] Sreg hari 1815 di Kongres Wina, Tindakan Akhir menyepakati namun 39 negara-negara berdaulat kerumahtanggaan sistem diplomatik Eropa, dan bak balasannya itu tegas menetapkan bahwa di masa depan negara-negara hijau harus diakui oleh negara-negara tak, dan itu berarti praktik syahadat dilakukan maka itu keseleo satu atau makin dari kemujaraban-faedah raksasa.[23]
Salah suatu suara terdahulu pecah undang-undang ini yakni keresahan nan disebabkan ketika beberapa negara mengakuri entitas baru, tetapi negara-negara lain tidak. Hersch Lauterpacht, pelecok suatu pendukung utama teori, mensyurkan bahwa negara nan mengakuilah yang menjadi negara nan bertugas untuk menyerahkan pengakuan umpama solusi yang barangkali. Cuma, satu negara bisa memperalat barometer detik membiji jikalau mereka harus menyerahkan pengakuan dan mereka tak memiliki barang bawaan lakukan menggunakan patokan tersebut. Banyak negara mungkin doang mengakui negara enggak jikalau hal tersebut yaitu untuk keuntungan mereka.
Plong tahun 1912, L. F. L. Oppenheim mengatakan sebagai halnya berikut untuk mengomong mengenai teori konstitutif:
Syariat Internasional tidak mengatakan bahwa sebuah negara enggak cak semau sepanjang negara tersebut tidak diakui, sekadar negara tersebut lain mendapatkan pemberitahuannya sebelum diakui. Belaka dan secara singularis melampaui pengakuan hanya sebuah negara menjadi sendiri Pribadi Internasional dan sebuah subjek Hukum Jagat.
Teori deklaratif
Sebaliknya,
teori kenegaraan deklaratif
mendefinisikan negara umpama pribadi privat syariat internasional jika menetapi patokan andai berikut: 1) distrik yang ditetapkan; 2) populasi permanen; 3) pemerintah, dan 4) kemampuan untuk ikut ke kerumahtanggaan afiliasi dengan negara-negara lain. Menurut teori deklaratif, satu entitas kenegaraan adalah lepas terbit persaksian maka itu negara-negara tak. Komplet deklaratif nan paling kecil tenar dinyatakan dalam tahun 1933 pada Konvensi Montevideo.[25]
Pasal 3 semenjak Konvensi Montevideo menyatakan bahwa ketatanegaraan kenegaraan lepas berusul syahadat maka itu negara-negara enggak, dan negara tidak dilarang bagi membela dirinya sendiri.[26] Sebaliknya, pengakuan ini dianggap sebagai persyaratan untuk kenegaraan maka itu teori kenegaraan konstutif.
Pendapat serupa tentang “kondisi di mana suatu entitas merupakan negara” diungkapkan maka dari itu Pendapat Komite Arbitrasi Badinter Mayarakat Ekonomi Eropa nan menngemukakan bahwa kreasi sebuah negara didefinisikan dengan punya distrik, pemukim, dan kekuasaan garis haluan.[titit rujukan]
Pengakuan negara
Praktik negara yang berkaitan dengan pengakuan dari negara-negara galibnya jatuh di suatu tempat antara pendekatan deklarator dan konstitutif.[27] Hukum Jagat rat tidak mengharuskan suatu negara bakal mengamini negara-negara bukan.[28] Persaksian ini gegares dipotong ketika negara mentah dipandang bagaikan tidak konvensional alias telah terjadi pelanggaran terhadap syariat jagat rat. Bukan diakuinya oleh hampr seluruh umum dunia semesta marcapada terhadap Rhodesia dan Siprus Lor adalah kamil nan baik mulai sejak ini, mantan Rhodesia namun mutakadim diakui oleh Afrika Daksina, dan Siprus Utara hanya diakui maka dari itu Turki. Dalam kasus Rhodesia, pengakuan itu banyak dipotong ketika minoritas kulit tulen merebut pengaturan dan berusaha kerjakan membentuk negara di selama garis Apartheid Afrika Kidul, sebuah operasi nan menguraikan Dewan Keamanan PBB sebagai kreasi “rezim minoritas rasis tidak sahih”.[29] Cakrawala tempatan kasus Siprus Utara, pengakuan itu dipotong berpunca negara yang dibuat di Siprus Utara.[30] Syariat Dunia semesta tak mengandung larangan pengumuman otonomi[31] dan syahadat satu negara adalah masalah garis haluan.[32] Sebagai karenanya, Siprus Turki memperoleh “status pengamat” intern Kepantasan, dan wakil-wakil mereka yang terseleksi di Majelis Siprus Lor;[33] dan Siprus Utara menjadi pengamat anggota OKI dan OKSE.
Formosa ataupun Taiwan sekali kembali bersituasi nan ekuivalen. Sahaja 21 negara di bumi mengakui Republik Tiongkok (tanda baku terbit Formosa).[34] Republik Rakyat China menyatakan bahwa Formosa adalah babak darinya.
Negara de facto dan de jure
Sebagian besar negara-negara berdaulat adalah negara de jure dan de facto (ialah, mereka nan gemar-suka baik intern syariat maupun privat pengumuman). Namun, suatu negara bisa diakui namun bak negara de jure yangdalam keadaan ini diakui bak pemerintah yang lumrah bersumber sebuah provinsi di mana ia bukan memiliki pengaruh sememangnya. Perumpamaan teoretis, selama Perang Dunia Kedua, pemerintah privat pengasingan berbunga bilang negara-negara Eropa kontinental terus menikmati kombinasi diplomatik dengan Sekutu, sungkap bahwa negara mereka berpunya di radiks pendudukan Nazi. OPP dan Supremsi Palestina mengklaim bahwa Negara Palestina yakni sebuah negara berdaulat, klaim yang sudah diakui makanya sebagian osean negara, meskipun distrik nan diklaim tersebut secara de facto ki berjebah di bawah lagam Israel.[./Sovereign_state#cite_note-israel-36
[36]][49] Ketunggalan lain mungkin n kepunyaan pengaturan de facto atas suatu provinsi tetapi lain memiliki pengakuan dunia semesta; ini bisa jadi dianggap makanya awam jagat rat kongkalikong untuk menjadi doang negara de facto. Mereka dianggap secara de jure negara hanya sesuai dengan hukum mereka seorang dan makanya negara-negara yang mengidentifikasi mereka. Misalnya, Somaliland ini biasanya dianggap bak situasi seperti mana itu.[50][51][52][53] Bikin daftar ketunggalan yang mau secara universal diakui bagaikan negara berdaulat, tetapi bukan punya syahadat diplomatik lengkap seluruh manjapada, lihat daftar negara dengan persaksian terbatas.
Lamun istilah “negara” dan “pemerintah” selalu digunakan secara berselang -selang,[54] hukum alam semesta mengeluarkan antara negara nonfisik dan pemerintahnya; dan lega kenyataannya, konsep “pemerintah n domestik pengasingan” didasarkan atas perbedaan itu.[55] Negara merupakan kesatuan yuridis nonfisik, dan bukan organisasi apapun.[56] Tetapi, lazimnya, tetapi pemerintah suatu negara dapat mewajibkan alias menghubungkan negara, misalnya dengan perjanjian.
Pada umumnya, negara merupakan keekaan tahan lama, kendatipun barangkali bagi mereka bikin hancur, baik melangkaui sukarela atau maslahat-guna luar, seperti aneksasi militer. Menurut sebuah riset waktu 2004, penghapusan sudah lalu akrab berhenti sejak pengunci Perang Mayapada II.[57] Karena negara-negara non-awak yuridis badan, telah berpendapat kepunahan mereka tak bisa karena keistimewaan jasad saja.[58] Sebaliknya, tindakan-tindakan raga militer harus tersapu dengan bermartabat sosial maupun peradilan tindakan internal rancangan bagi melengahkan negara.
Ontologi gengsi negara telah menjadi materi perdebatan,[59] secara khusus, apakah atau bukan negara, menjadi sebuah benda yang tak ada yang dapat tatap, rasa, sentuhan, atau jika tak, mendeteksi[60] nan mendalam ada.
Negara sebagai “tanwujud kuasi”
Mutakadim dikemukakan bahwa salah satu potensi alasan mengapa keberadaan negara sudah lalu menjadi kontroversi merupakan karena negara enggak memiliki tempat internal ambivalensi tradisional Platonis yang kasatmata alias yang sempurna.[61] Beralaskan karakteristiknya, objek aktual merupakan mereka yang memiliki posisi dalam ira dan masa yang menyatakan tidak mempunyai (meskipun negeri mereka memiliki posisi spasial, tapi negara-negara nan berbeda berpangkal negeri mereka), dan benda-benda komplet memiliki posisi tak dalam hari maupun pangsa yang lain sesuai dengan karakteristiknegara moga, karena negara-negara memiliki posisi temporal (mereka boleh dibuat puas waktu-waktu tertentu dan kemudian menjadi punah di rekata nanti). Lagi, benda-benda contoh bersendikan karakteristiknya moralistis-sopan nonkausal, yang juga lain ialah ciri khas dari negara-negara karena negara-negara dapat bertindak di bumi dan dapat menyebabkan keadaan-kejadian tertentu (biarpun sahaja dengan tindakan yang diambil atas nama mereka melalui perwakilan).[62] Maka dari itu karena itu, sudah suka-suka pendapat bahwa negara-negara yang tercatat ke dalam kategori ketiga, khayali kuasi nan baru-mentah ini mutakadim tiba mengumpulkan perhatian filosofis, terutama di kawasan dokumenter, teori ontologi berusaha cak bikin memahami peran dari kopi internal mengetahui semua realitas sosial. Rembulan-bulanan abstrak kuasi, begitu juga negara, dapat diwujudkan melewati tindakan pertinggal dan pula boleh digunakan cak buat menggagas mereka, sebagaimana dengan mencantumkan mereka dengan perjanjian atau memberikan mereka umpama hasil dari perang.
Para akademikus perantaraan jagat rat bisa dipecah menjadi dua praktik berbeda, realis dan kabilah pluralis, dari apa nan mereka percaya terhadap ontologi negara berusul negara tersebut. Realis percaya bahwa dunia merupakan semata negara dan pertalian antarnegara dan identitas negara didefinisikan sebelum hubungan internasional dengan negara-negara lain. Di arah lain, suku bangsa pluralis berketentuan bahwa negara bukan satu-satunya aktor dalam pernah internasional dan interaksi antara negara dan negara berlomba mengganjar banyak aktor-aktor lain.[63]
Negara sebagai “keekaan spiritual”
Teori lain semenjak ontologi negara adalah bahwa negara merupakan kesendirian spiritual[64] maupun “perdukunan” dengan menjadi sendiri, yang berlainan semenjak anggota negara. Filsuf Idealis Jerman, Georg Hegel (1770-1831) probabilitas menjadi partisan terbesar teori ini. Defini negara menurut Hegelian merupakan “Ide Ilahi seperti yang ada di Manjapada”.[65]
Sejak pengunci Perang Manjapada II, jumlah negara-negara berdaulat intern sistem internasional sudah lalu melonjak.[66] Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kesediaan organisasi-organisasi antarbangsa dan regional, kesiapan yang lebih osean berasal hubung tangan ekonomi, dan pembelajaran yang lebih lautan berasal norma penentuan nasib koteng telah meningkatkan keinginan dari unit-unit politik bikin mempersatukan diri dan boleh dikreditkan bikin meningkatkan besaran negara-negara kerumahtanggaan sistem antarbangsa.[67][68] Ekonom Harvard, Alberto Alesina dan ekonom Tufts, Enrico Spolaore berpendapat dalam gerendel mereka, Size of Nations bahwa pertambahan jumlah negara sebagian dapat dikreditkan buat dunia nan bertambah damai, perbisnisan adil dan integrasi ekonomi sejagat yang kian segara, demokratisasi, dan adanya organisasi-organisasi antarbangsa yang mengkoordinasikan kebijakan ekonomi dan politik negara.[69]
- Negara
- Kedaulatan
- Mandat unik
- Negara gagal
- Negara bagian
- Daftar negara berdaulat (menurut tanggal pembentukan)
- Daftar negara menurut kontinen
- Konvensi Montevideo
- Bangsa
- Membangun bangsa
- Negara kebangsaan
- Peraturan menurut syariat yang makin tataran
- Mahajana tak bernegara
- Negara kesatuan
- Negara proto
-
^
See the following: -
^
See the following: -
^
Lalonde, Suzanne (2002). “Notes to pages”. Determining boundaries in a conflicted world: the role of uti possidetis. McGill-Queen’s Press – MQUP. hlm. 181. ISBN 978-0-7735-2424-8.
-
^
Glassner, Martin Ira; Fahrer, Chuck (2004). Political Geography (edisi ke-3rd). Hoboken: Wiley. hlm. 14. ISBN 0-471-35266-7.
-
^
Spruyt, H. (1994). The Sovereign State and its Competitors: An Analysis of Systems Change. Princeton, NJ: Princeton University Press. ISBN 0-691-03356-0.
-
^
Krasner, Stephen D. (1999). Sovereignty: Organised Hypocrisy. Princeton University Press. ISBN 0-691-00711-X.
-
^
Núñez, Jorge Emilio. “About the Impossibility of Absolute State Sovereignty”. International Journal for the Semiotics of Law.
-
^
Wilde, Ralph (2009). “From Trusteeship to Self-Determination and Back Again: The Role of the Hague Regulations in the Evolution of International Trusteeship, and the Framework of Rights and Duties of Occupying Powers”. Loy. L.A. Int’l & Comp. L. Rev.
31: 85–142 [p. 94].
-
^
Lassa Oppenheim, International Law 66 (Sir Arnold D. McNair ed., 4th ed. 1928) -
^
Akweenda, Sackey (1997). “Sovereignty in cases of Mandated Territories”. International law and the protection of Namibia’s territorial integrity. Martinus Nijhoff Publishers. hlm. 40. ISBN 90-411-0412-7.
-
^
“Chapter IV Fundamental Rights and Duties of States”. Charter of the Organization of American States. Secretariat of The Organization of American States. Diakses copot
21 November
2010.
-
^
“Draft Declaration on Rights and Duties of States”
(PDF). UN Treaty Organization. 1949. Diakses tanggal
21 November
2010.
-
^
“General Assembly resolution 1803 (XVII) of 14 December 1962, “Permanent sovereignty oper natural resources““. United Nations. Diarsipkan dari versi suci tanggal 2011-02-18. Diakses tanggal
21 November
2010.
-
^
Schwebel, Stephen M., The Story of the U.N.’s Declaration on Permanent Sovereignty over Natural Resources, 49 A.B.A. J. 463 (1963) -
^
“International Covenant on Civil and Political Rights”.
-
^
Grinin L. E. Globalization and Sovereignty: Why do States Abandon their Sovereign Prerogatives?
-
^
Turner, Bryan (July 2007). “Islam, Religious Revival and the Sovereign State”. Mukminat World.
97
(3): 405–418. Diakses sungkap
26 October
2014.
|accessdate= requires |url= (pertolongan) -
^
“Recognition”, Encyclopedia of American Foreign Policy. -
^
See B. Broms, “IV Recognition of States”, pp 47-48 in International law: achievements and prospects, UNESCO Series, Mohammed Bedjaoui(ed), Martinus Nijhoff Publishers, 1991, ISBN 92-3-102716-6 [1] -
^
See Israel Yearbook on Human Rights, 1989, Yoram Dinstein, Mala Tabory eds., Martinus Nijhoff Publishers, 1990, ISBN 0-7923-0450-0, page 135-136 [2] -
^
Thomas D. Grant, The recognition of states: law and practice in debate and evolution (Westport, Connecticut: Praeger, 1999), chapter 1. -
^
Hillier, Cak regu (1998). Sourcebook on Public International Law. Routledge. hlm. 201–2. ISBN 1-85941-050-2.
-
^
Kalevi Jaakko Holsti Taming the Sovereigns p. 128. -
^
Lassa Oppenheim, Ronald Roxburgh (2005). International Law: A Treatise. The Lawbook Exchange, Ltd. hlm. 135. ISBN 1-58477-609-9.
-
^
Hersch Lauterpacht (2012). Recognition in International Law. Cambridge University Press. hlm. 419.
-
^
http://www.oas.org/juridico/english/treaties/a-40.html -
^
Shaw, Malcolm Nathan (2003). International law (edisi ke-5th). Cambridge University Press. hlm. 369. ISBN 0-521-53183-7.
-
^
Opinion No. 10. of the Arbitration Commission of the Conference on Yugoslavia. -
^
United Nations Security Council Resolution 216 -
^
United Nations Security Council Resolution 541 -
^
BBC The President of the International Court of Justice (ICJ) Hisashi Owada (2010): “International law contains no prohibition on declarations of independence.” -
^
Oshisanya, An Almanac of Contemporary and Comperative Judicial Restatement, 2016 p.64: The ICJ maintained that … the issue of recognition was a political. -
^
James Ker-Lindsay (UN SG’s Former Special Representative for Cyprus) The Foreign Policy of Counter Secession: Preventing the Recognition of Contested States, p.149 -
^
http://www.mofa.gov.tw/en/AlliesIndex.aspx?n=DF6F8F246049F8D6&sms=A76B7230ADF29736 -
^
a
b
B’Tselem – The Israeli Information Center for Human Rights in the Occupied Territories: Israel’s control of the airspace and the territorial waters of the Gaza Strip, Retrieved 2012-03-24. -
^
Map of Gaza fishing limits, “security zones” -
^
Israel’s Disengagement Plan: Renewing the Peace Process Diarsipkan 2007-03-02 di Wayback Machine.: “Israel will guard the perimeter of the Gaza Strip, continue to control Gaza air space, and continue to patrol the sea off the Gaza coast. … Israel will continue to maintain its essential military presence to prevent arms smuggling along the border between the Gaza Strip and Egypt (Philadelphi Route), berayun-ayun the security situation and cooperation with Egypt permit an alternative security arrangement.” -
^
Gold, Dore; Institute for Contemporary Affairs (26 August 2005). “Lazim Acrobatics: The Palestinian Claim that Gaza is Still “Occupied” Even After Israel Withdraws”. Jerusalem Issue Brief, Vol. 5, No. 3. Jerusalem Center for Public Affairs. Diakses copot
2010-07-16
.
-
^
Bell, Abraham (28 January 2008). “International Law and Gaza: The Assault on Israel’s Right to Self-Defense”. Jerusalem Issue Brief, Vol. 7, No. 29. Jerusalem Center for Public Affairs. Diakses rontok
2010-07-16
.
-
^
Ministry of Foreign Affairs of Israel (22 January 2008). Address by Foreign Minister Livni to the 8th Herzliya Conference. Siaran pers. Diakses lega 2010-07-16. -
^
Salih, Zak M. (17 November 2005). “Panelists Disagree Oper Gaza’s Occupation Harga diri”. University of Virginia School of Law. Diarsipkan dari versi nirmala terlepas 2016-03-03. Diakses rontok
2010-07-16
.
-
^
“Israel: ‘Disengagement’ Will Not End Gaza Occupation”. Human Rights Watch. 29 October 2004. Diakses tanggal
2010-07-16
.
-
^
Staff writers (20 February 2008). “Palestinians ‘may declare state‘“. BBC News. British Broadcasting Corporation. Diakses copot
2011-01-22
.
:”Saeb Erekat, disagreed arguing that the Palestine Liberation Organisation perenggan already declared independence in 1988. “Now we need real independence, not a declaration. We need kongkalikong benar independence by ending the occupation. We are not Kosovo. We are under Israeli occupation and for independence we need to acquire independence”. -
^
Gold, Dore; Institute for Contemporary Affairs (26 August 2005). “Konvensional Acrobatics: The Palestinian Claim that Gaza is Still “Occupied” Even After Israel Withdraws”. Jerusalem Issue Brief, Vol. 5, No. 3. Jerusalem Center for Public Affairs. Diakses tanggal
2010-07-16
.
-
^
Bell, Abraham (28 January 2008). “International Law and Gaza: The Assault on Israel’s Right to Self-Defense”. Jerusalem Issue Brief, Vol. 7, No. 29. Jerusalem Center for Public Affairs. Diakses tanggal
2010-07-16
.
-
^
Ministry of Foreign Affairs of Israel (22 January 2008). Address by Foreign Minister Livni to the 8th Herzliya Conference. Kabar pers. Diakses pada 2010-07-16. -
^
Salih, Zak M. (17 November 2005). “Panelists Disagree Over Gaza’s Occupation Status”. University of Virginia School of Law. Diarsipkan dari varian suci tanggal 2016-03-03. Diakses sungkap
2010-07-16
.
-
^
“Israel: ‘Disengagement’ Will Not End Gaza Occupation”. Human Rights Watch. 29 October 2004. Diakses sungkap
2010-07-16
.
-
^
Israel allows the PNA to execute some functions in the Palestinian territories, depending on special kawasan classification. Israel maintains minimal interference (retaining control of borders: air,[35] sea beyond privat waters,[35][36] land[37]) in the Gaza strip and maximum in “Kewedanan C”.[38][39][40][41][42] See also Israeli-occupied territories.
[43][44][45][46][47][48]
-
^
Arieff, Alexis (2008). “De facto Statehood? The Strange Case of Somaliland”
(PDF). Yale Journal of International Affairs.
3: 60–79. Diarsipkan terbit varian salih
(PDF)
tanggal 2011-12-13. Diakses rontok
2010-01-04
.
-
^
“The List: Six Reasons You May Need A New Peta Soon”. Foreign Policy Magazine. July 2007. Diakses tanggal
2010-01-04
.
-
^
“Overview of De-facto States”. Unrepresented Nations and Peoples Organization. July 2008. Diakses rontok
2010-01-04
.
-
^
Wiren, Robert, Alexis (April 2008). “France recognises de facto Somaliland”. Yale Journal of International Affairs. Les Nouvelles d’Addis Magazine.
3: 60–79. Diarsipkan dari varian murni tanggal 2018-08-25. Diakses rontok
2010-01-04
.
Proteksi CS1: Copot dan hari (link)
CS1 maint: Date and year (link) -
^
Robinson, E. H. (April 2008). “The Distinction Between State and Government”
(PDF). Cak bimbingan Nouvelles d’Addis Magazine. hlm. 556–566. Diarsipkan dari varian kudrati
(PDF)
tanggal 2013-11-02. Diakses sungkap
2010-01-04
.
Periksa kredit terlepas di: |year= / |date= mismatch (bantuan)
-
^
Crawford, J. (2006). The Creation of States in International Law (edisi ke-2nd). Oxford: Clarendon Press. ISBN 0-19-826002-4.
-
^
Robinson, Edward Heath (2010). “An Ontological Analysis of States: Organizations vs. Legal Persons”
(PDF). Applied Ontology.
5: 109–125. Diarsipkan dari varian putih
(PDF)
tanggal 2015-09-23. Diakses tanggal
2017-07-10
.
-
^
Fazal, Tanisha M. (2004-04-01). “State Death in the International System”. International Organization.
58
(2): 311–344. doi:10.1017/S0020818304582048. ISSN 1531-5088.
-
^
Robinson, Edward Heath (2011). “The Involuntary Extinction of States: An Examination of the Destruction of States though the Application of Military Force by Foreign Powers since the Second World War”
(PDF). The Journal of Military Geography.
1: 17–29. Diarsipkan dari varian kalis
(PDF)
terlepas 2018-02-19. Diakses terlepas
2017-07-10
.
-
^
Ringmar, Erik (1996). “On the ontological status of the state”. European Journal of International Relations.
2
(4): 311–344. doi:10.1177/1354066196002004002. ISSN 1531-5088.
-
^
A. James (1986).
-
^
Robinson, Edward H. (2014). “A documentary theory of states and their existence as quasi-abstract entities”
(PDF). Geopolitics.
19
(3): 1–29. doi:10.1080/14650045.2014.913027. Diarsipkan berpangkal versi asli
(PDF)
copot 2016-03-03. Diakses tanggal
16 September
2014.
-
^
Robinson, Edward H. (2011). “A theory of social agentivity and its integration into the descriptive ontology for linguistic and cognitive engineering”
(PDF). International Journal on Semantic Web and Information Systems.
7
(4): 62–86. doi:10.4018/jswis.2011100103. Diarsipkan bermula versi suci
(PDF)
rontok 2017-08-10. Diakses terlepas
16 September
2014.
-
^
Ringmar, Erik (1996). “On the Ontological Status of the State”. European Journal of International Relations.
10
(2).
-
^
Fundamentals of Government, pg. 71, -
^
Fundamentals of Government, pg. 71 (citing Hegel’s Philosophy of History, trans.
-
^
“The SAGE Handbook of Diplomacy”. SAGE Publications. hlm. 294–295. Diakses tanggal
2016-11-17
.
-
^
Fazal, Tanisha M.; Griffiths, Ryan D. (2014-03-01). “Membership Has Its Privileges: The Changing Benefits of Statehood”. International Studies Review (dalam bahasa Inggris).
16
(1): 79–106. doi:10.1111/misr.12099. ISSN 1468-2486.
-
^
“The State of Secession in International Politics”. E-International Relations. Diakses sungkap
2016-11-16
.
-
^
“The Size of Nations”. MIT Press. Diakses tanggal
2016-11-16
.
- Schmandt, Henry J., dan Paul G. Steinbicker. Dasar-dasar Pemerintahan (Milwaukee: Bruce Perusahaan Penerbitan, 1954 [2 printing, 1956]).
- Chen, Ti-chiang. Syariat Dunia semesta tentang Persaksian, dengan Teks Khusus buat Belajar di inggris dan Amerika Perkongsian. London, waktu 1951.
- Crawford, James. Penemuan Negara dalam Hukum Alam sepenuh. Oxford University Press, 2005. ISBN 0-19-825402-4, pp. 15-24.
- Lauterpacht, Hersch (2012). Recognition in International Law. Cambridge University Press.
- Raič, D. Kenegaraan dan Syariat penentuan semangat Sendiri. Martinus Nijhoff Publishers, 2002. ISBN 978-90-411-1890-5. p 29 (dengan referensi kerjakan Oppenheim dalam Hukum Internasional Vol. 1 hari 1905 p110)
- Schmandt, Henry J., dan Paul G. Steinbicker. Radiks-dasar Pemerintah, “Fragmen Ketiga. Filsafat Negara” (Milwaukee: Bruce Perusahaan Penerbitan, 1954 [2 printing, 1956]). 507 pgs. 23 cm. LOC klasifikasi: JA66 .S35 https://lccn.loc.gov/54010666
- Pendapat Badinter Komite Arbitrase di European Journal of International Law
- Singkat Primer pada Hukum Jagat Diarsipkan 2016-11-10 di Wayback Machine. Dengan kasus dan komentar. Nathaniel Burney, 2007.
- Segala yang merupakan negara berdaulat? makanya Michael Ross Fowler dan Julie Marie Bunck
- Link untuk nan terbaik risiko ketatanegaraan situs web, ipoliticalrisk.com informasi pelacakan, mengevaluasi dan mengelola risiko utang penggalasan dan pemodalan permanen
- Pendapat syariat maka berasal itu Negosiasi Dukungan Unit di Yuridiksi Palestina puas pertukaran independensi
Diperoleh dari “https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Negara_berdaulat&oldid=21358411”
Kedaulatan Pertama Kali Diperkenalkan Seorang Ahli Kenegaraan Adalah
Source: https://asriportal.com/kedaulatan-pertama-kali-diperkenalkan-seorang-ahli-kenegaraan-yaitu/