Terangkan Hubungan Antara Gotong Royong Dengan Perekonomian Nasional.
Pemugaran Candi Borobudur. Candi adalah gedung perian Hindu-Buddha yang dibangun oleh penguasa dengan sanggang royong rakyatnya. (tamadun.kemdikbud.go.id).
Berbagi itu meredakan. Selama musim endemi Covid-19 dan ekonomi sulit ini, hamba allah menggelar banyak kegiatan untuk mengatasi kesukaran. Bermula konser penggalangan dana sampai lelang produk. Semangat gotong royong muncul dari banyak kelompok umum. Motivasinya beragam bisa karena alasan kemanusiaan atau keagamaan.
Sanggang royong telah menjadi adat resam bangsa Indonesia. Akarnya kuat tersua di seluruh kepulauan Melayu-Nusantara sejak masa pra-abjad. Bentuknya bisa berubah. Tapi semangatnya tetap tinggal.
Gotong royong semula maujud berbagi tenaga kasar. Biasanya angkat royong untuk membangun rumah atau menyibakkan lahan perkebunan dengan arwah menjaga kontak komunal. Lazimnya seseorang yang dituakan (primus interpares) akan mengatur kerja sendirisendiri anggota kelompoknya untuk membangun sesuatu nan bersifat komunal.
Lalu agama Hindu-Buddha timbrung dan mengganti semangat gotong royong sesuai keimanan pemberinya. Leona Anderson kerumahtanggaan “Contextualizing Philanthrophy in South Asia: a Textual Analysis of Sanskrit Source”, termuat dalam
Philanthropy in the World’s Traditions, menyebut filantropi (gotong royong) materi privat tradisi Hindu sebagaidana. Ada pula bentuk filantropi Hindu lainnya bernamaseva, yaitu kerja bakti kerjakan membangun dan memeriahkan kegiatan kuil, candi, atau jaring-jaring.
Sejarawan Sartono Kartodirdjo mengisahkan praktik gotong royong tersua n domestik Batu bersurat Baru berpokok waktu Mataram Kuno pada abad ke-10. Selama kini, penguasa lokal dan
maharaja
membangun banyak candi. Mereka membutuhkan bantuan tenaga dari bermacam-macam golongan di kota dan desa: sudra, kawula (budak), waisya (petani dan pengelana), dan brahmana (agamawan).
“Di sini kita menghadapi kenyataan bahwa gedung-konstruksi segara yang juga disebut
buat haji, memerlukan banyak pegawai,” ungkap Sartono dalam “Kedudukan dan Peranan Sistem Gotong Royong kerumahtanggaan Urut-urutan Masyarakat Indonesia” terdaftar n domestik
Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah.
Masing-masing keramaian punya tugas dan berkoordinasi satu selevel lain. Sudra dan kawula mengerjakan hal-keadaan teknis sebagaimana memindahkan dan menyusun batu. Waisya membantu kebutuhan makanan para pelaku. Terakhir, kaum brahmana bertugas merencanakan pembangunan.
Saat membangun candi, lelaki desa jarang pulang ke rumah. Pekerjaan mereka di tipar atau sawah diambil alih maka itu para pemudi. Dengan demikian, maslahat desa dan keluarga enggak terganggu.
Padahal dalam konsep Buddha, gotong royong dapat diartikan seumpama berbagi sesuatu yang baik. Bisa nyata tenaga, kasih sayang, dan perhatian. Ini menjadi sebuah kelaziman. Gotong royong tidak semata-mata bagi manusia, tapi lagi kepada semua makhluk. Tujuannya membuat semua insan asian. Demikian tulis Leslie S. Kawamura intern “The Mahayana Buddhist Foundation for Philanthropic Practices” yang termuat internal
Philanthropy in the World’s Traditions.
Banyak epigraf dan skenario menunjukkan rasa welas asih sejumlah penguasa Hindu-Buddha di Sumatra dan Jawa kepada pertapa dan rakyatnya. Epigraf Yupa menjuluki kedermawanan Raja Mulawarman di Kutai (Kalimantan Timur) menyumbang 20.000 sapi kepada padri. Tentatif itu, di Jawa, naskahDesawarnanadanNegarakrtagama, memfilmkan kebiasaan derma di lingkungan puri Majapahit.
“Sering kembali raja memasrahkan emas atau uang (dhana, artha) perumpamaan hadiah kepada rakyat,” sebut Sartono.
Adat derma para penguasa ini bersambut dengan kesediaan masyarakat untuk bekerja secara sukarela dalam membangun dan menjaga fasilitas masyarakat (kirti). Sartono mencontohkan situ (dam), jalan raya (raja marga), jembatan, pasar, saluran air (loh gawe),
dan jalan di atas tanggul (darmaga). Pengerahan penghuni untuk maksud itu disebut
luruh gunung.
Gotong Royong Kesultanan Islam
Seiring kedatangan Selam ke Nusantara, gotong royong kembali n kepunyaan isi dan tulangtulangan baru. Beliau memiliki bentuk filantropi atau berbagi. Amelia Fauzia, doktor keluaran University Melbourne, Australia, dalamFilantropi Islam: Sejarah Kontestasi Publik Sipil dan Negara di Indonesiamengungkap tiga rencana filantropi Selam: zakat, sedekah, dan wakaf. Sungguhpun berbeda rencana, semangatnya sama: gotong royong.
Zakat bermanfaat pembasuhan kekayaan dan jiwa seseorang. Sebab dalam harta seseorang terkandung sekali lagi hak orang bukan. Dengan begitu, setiap mahajana dapat menikmati harta tersebut dan menjamin hidupnya tetap berlangsung.
Bentuk zakat cak semau dua spesies: fitrah dan khazanah. Fitrah biasanya diberikan saat pengunci rembulan Bulan pahala dan berbentuk bahan jenggala pokok. Padahal mal ialah zakat substansi konkret hasil pertanian atau emas. Keduanya memiliki kriteria penerimanya. Seidaknya ada tujuh golongan.
Sedekah punya bagan mirip dengan sumbangan, hidayah, dan hibah. Wakaf merujuk pada cara pengelolaan sedekah berkelanjutan berupa aset enggak bergerak sama dengan persil dan bangunan.
Ketiga filantropi ini berkembang selama periode kesultanan Selam. Semuanya berkepribadian sukarela. Tapi zakat punya keunikan tersendiri. Sira memang sukarela, saja secara hukum agama bersifat wajib bikin tiap muslim. Apabila zakat enggak ditunaikan, seorang muslim akan menanggung dosa. Sementara itu, dua tulangtulangan filantropi lainnya bebas berpangkal dosa takdirnya tak ditunaikan maka itu muslim.
Para penguasa sultanat mempunyai sikap berlainan intern memperlakukan filantropi. Sebagian mereka mewujudkan pengumpul protokoler bakal filantropi Islam. “Para penguasa dengan orientasi keagamaan yang ortodoks mendatangi menggunakan institusi zakat seumpama alat penguasa bakal menguati,” catat Amelia.
Tapi mayoritas penguasa kesultanan memperlakukan zakat tidak perumpamaan peraturan penguasa. Mereka mengikhlaskan orang mempraktikannya secara sukarela.
Para penguasa seringkali mencontohkan rakyatnya untuk bergotong royong dan berbagi. Tome Pires, sendiri penjelajah berpangkal Portugis, merekam kegiatan filantropi penguasa dan rakyat kesultanan di pantai utara Jawa internalSuma OrientalPelawatan Berasal Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues, suntingan Armando Cortesao.
“Paramoor(sebutan Pires bikin manusia Selam tempatan,red.) memberinya sedekah dan mereka akan habis bahagia jika pertapa ini melawat ke rumah-rumah mereka,” ungkap Tome Pires.
Disalahgunakan
Memasuki abad ke-19, pengaruh kesultanan Islam surut. Yuridiksi kolonial Belanda berangkat pasang. Tapi praktik sanggang royong berbentuk filantropi masih berlangsung. Pemerintah kolonial mengidas tidak ikut campur urusan gotong royong. Ini terejawantah dalamBijbladNo. 407 tahun 1858. Mereka tak melembagakannya seperti beberapa kesultanan Islam. “Praktik filantropi menjadi sesudah-sudahnya urusan pribadi,” tulis Amelia.
Kebijakan pemerintah kolonial ternyata membawa jalan pesat puas gotong royong. Ulama dan pesantren tampil menjadi pusat dedengkot gotong royong. Banyak orang menyerahkan zakat, sedekah, dan wakafnya sedarun kepada para ulama atau pesantren. Terbit dua pelaku ini, bentuk-bentuk gotong royong diteruskan kepada yang membutuhkan.
Pesantren pun mempraktikan bentuk gotong royong ubah berbagi tenaga. Mereka mempunyai konsep memenuhi kebutuhan vitalitas koteng melangkahi komunitasnya. Mereka mengusahakan sawah, ladang, peternakan, dan kebutuhan dasar lainnya yang dapat dibuat oleh mereka. Para santri dan kiai saling berbagi bertugas mengerjakan semuanya. Hasilnya dipakai buat kebutuhan pesantren. Sisanya dijual buat membeli kebutuhan nan enggak mereka bisa produksi sendiri.
Padahal pengelolaan angkat royong plong masa kolonial tercantum dengan baik dan berlimpah dalam catatan Snouck Hurgronje, Pengarah Urusan Masyarakat Pribumi dan Mukmin buat Pemerintah Kolonial Belanda (1899–1906).
Snouck bahkan mengisahkan beberapa manusia berupaya melipat latar belakangnya kiranya berhak menjadi penyambut keuntungan terbit goyong royong. Mereka memoles dirinya selaik guru agama.
“Banyak hamba allah menyamar andai guru, namun dengan harapan cak bagi membujur peruntungan semu atas hadiah-anugerah nan imani (zakat, fitrah, sedekah) dari jemaah yang baik,” tulis Snouck n domestikPetuah-wejangan C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889–1936.
Snouck juga menyoroti masih adanya sejumlah penguasa tempatan menolakkan zakat harta kepada rakyatnya. “Bahwa ada beberapa orang yang, karena keserakahan pemerintah daerah pribumi, konon diharuskan membayar zakat sampai 5-6 kali dalam musim panen yang ekuivalen,” lanjut Snouck. Tapi itu dulu langka terjadi dan tidak mengurangi sedikit lagi hayat rakyat cak bagi mengamalkan angkat royong.
Pada masa kolonial, gotong royong menemukan pelisanan berbeda di bidang bisnis. Ia boleh berwujud dalam
onderlingeatau usaha bersama. Riuk satu pelopornya Dwijosewojo. Dia pendiri Boemipoetera, asuransi pertama untuk anak negeri, sreg 1912. Berbeda dari lazimnya usaha asuransi yang berbentuk perseroan terbatas, asuransi Dwijosewojo lahir dari semangat gotong royong.
“Karena religiositas yang kuat bahwa asas gotong royong yang menjadi dasar budaya bangsa Indonesia di segala aspek kehidupannya itu, dapat dijadikan pematang usaha secara efektif,” tulis Sutamto n domestikDwidjosewojo 1867–1943: Pentolan Rayapan Nasional Pendiri Bumiputera 1912.
Berpunca rentetan cerita-kisah tadi, kelihatan gotong royong mutakadim menjadi “DNA” individu Indonesia pada pelbagai uluran zaman
Terangkan Hubungan Antara Gotong Royong Dengan Perekonomian Nasional
Source: https://historia.id/kultur/articles/gotong-royong-dna-orang-indonesia-D800A